SISTEM POLITIK INDONESIA
SISTEM PEMILU KEPALA DAERAH TINGKAT I & II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesadaran
akan pentingnya demokrasi sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat
dari peran serta rakyat Indonesia dalam melaksanakan Pemilihan Umum baik yang
dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Ini terlihat
dari jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya yang sedikit. Pemilihan
umum ini dilaksanakan secara langsung pertama kali untuk memilih presiden dan
wakil presiden serta anggota MPR, DPR, DPD, DPRD di tahun 2004. Walaupun
masih terdapat masalah yang timbul ketika waktu pelaksanaan. Tetapi masih dapat
dikatakan sukses.
Setelah
suksesnya Pemilu tahun 2004, mulai bulan Juni 2005 lalu di 226 daerah meliputi
11 propinsi serta 215 kabupaten dan kota, diadakan Pilkada untuk memilih para
pemimpin daerahnya. Sehingga warga dapat menentukan peminpin daerahnya menurut
hati nuraninya sendiri. Tidak seperti tahun tahun yang dahulu yang menggunakan
perwakilan dari partai. Namun dalam pelaksanaan pilkada ini muncul penyimpangan
penyimpangan. Mulai dari masalah administrasi bakal calon sampai dengan yang
berhubungan dengan pemilih
Semenjak
lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Otonomi Daerah telah
menjiwai ketatanegaraan Indonesia (Pasal 18 UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945). Realitasnya beberapa undang-undang tentang Pemerintahan
Daerah berotonomi telah diterbitkan. Yang mana penerbitan peraturan tersebut
memperhatikan dan berorientasi kepada perkembangan sosial politik yang terjadi
di wilayah dan daerah-daerah di Indonesia.
Adapun
aturan mengenai pemerintah daerah tersebut dalam kurun waktu lima puluh tahun,
terdiri dari:
1. Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1945, tentang Komite Nasional Daerah
2. Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah
3. Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1957, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
4. Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1965, tantang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
5. Tap MPRS
No. XXI Tahun 1966, tentang pemberian otonomi seluas-luasnya Kepada Daerah,
(tetapi tidak pernah ditindak lanjuti oleh rezim Orde Baru)
6. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
7. Tap MPR
No. XV Tahun 1998
8. Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah
9. Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan
Daerah.
·
Rumusan Masalah
1) Apa
pengertian demokrasi dan landasan hukum Pilkada?
2) Apa
macam-macam penyelewengan Pilkada?
3) Bagaimana
solusi agar tidak terjadi penyelewengan dalam Pilkada?
·
Tujuan Penulisan
1) Menjelaskan
pengertian demokrasi dan landasan hukum Pilkada.
2) Menjelaskan
macam-macam penyelewengan dalam Pilkada.
3) Menjelaskan
solusi agar tidak terjadi penyelewengan dalam Pilkada.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas kuasa-Nya sehingga
penyusunan makalah ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Kami juga
berterimakasih kepada setiap pihak yang telah terlibat dan membantu kami dalam
penyusunan makalah ini.
Makalah
yang berjudul Sistem Pemilu
Kepala Daerah Tingkat I & II ini untuk melengkapi tugas mata kuliah Sistem Politik Indonesia. Makalah ini kami susun sedemikian rupa dengan
mencari dan menggabungkan sejumlah informasi yang kami dapatkan baik melalui
buku, media cetak, elektronik maupun media lainnya. Kami berharap dengan
informasi yang kami dapat dan kemudian kami sajikan ini dapat memberikan
penjelasan yang cukup tentang Sistem Pemilu
Kepala Daerah Tingkat I & II
Demikian satu dua kata yang bisa kami sampaikan
kepada seluruh pembaca makalah ini. Jika ada kesalahan baik dalam penulisan
maupun kutipan, kami terlebih dahulu memohon maaf dan kami juga berharap semua
pihak dapat memakluminya. Semoga semua pihak dapat menikmati dan mengambil
esensi dari makalah ini. Terima kasih.
Mataram, 14 April 2017
Penulis
BAB II
KAJIAN TEORI
1.
Teori pilkada
Praktik
penyelenggaraan pemerintahan lokal di Indonesia telah mengalami kemajuan sejak
masa reformasi, ini dapat dilihat dari diberlakukannya undang-undang No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan diberlakukannya undang
-undang ini, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih
desentralistis, dalam arti sebagian besar wewenang di bidang pemerintahan
diserahkan kepada daerah. Secara umum undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah ini telah banyak membawa kemajuan bagi daerah dan juga bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian disisi lain, undang-undang
ini dalam pelaksanaannya juga telah menimbulkan dampak negatif, antara lain
tampilnya kepala daerah sebagai raja-raja kecil didaerah karena luasnya
wewenang yang dimiliki, tidak jelasnya hubungan hierarkis dengan pemerintahan
di atasnya, tumbuhnya peluang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di
daerah-daerah akibat wewenang yang luas dalam pengelolaan kekayaan dan keuangan
daerah serta “money politic” yang terjadi dalam pemilihan
kepala daerah (Abdullah, 2005: 3).
Untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahan tersebut maka diberlakukanlah undang-undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyrakat, serta mampu meningkatkan daya saing
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan
kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang dilaksanakan secara efektif, efisien dan bertanggung
jawab.
Perubahan yang sangat signifikan
terhadap perkembangan demokrasi di daerah, sesuai dengan tuntutan reformasi
adalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung.
Pemilihan kepala daerah secara langsung ini merupakan konsekuensi perubahan
tatanan kenegaraan kita akibat Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Undang-undang baru ini pada dasarnya mengatur mengenai penyelenggaraan
pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan desentralisasi. Hal
tersebut dapat dilihat melalui penjabaran dari amanat konstitusi pasal 18 ayat
(4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Propinsi, Kabupaten dan Kota dipilih
secara demokratis”.
Pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah secara langsung diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 Pasal 119 dan Peraturan Pemerintah
No. 6 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Secara eksplisit ketentuan
tentang PILKADA langsung tercermin dalam penyelengaraan PILKADA. Dalam Pasal 56
ayat (1) disebutkan:
“Kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”. Pilihan
terhadap sistem pemilihan langsung menunjukkan koreksi atas Pilkada terdahulu
yang menggunakan sistem perwakilan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah No.151 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan,
Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Digunakannya sistem pemilihan langsung ini menunjukkan perkembangan penataan
format demokrasi daerah yang berkembang dalam liberalisasi politik (Prihatmoko,
2005: 2).
Pelaksanaan PILKADA Langsung
merupakan sebuah peningkatan demokrasi ditingkat lokal, dengan adanya demokrasi
dalam sebuah negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan demokrasi yang
menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya. Menurut Winarno (2002: 11)
mengatakan bahwa: “sistem pemilihan secara langsung merupakan alternatif yang
paling realistis guna mendekatkan aspirasi demokrasi rakyat dengan kekuasaan
pemerintah dan pada saat yang sama memberikan basis legitimasi politik kepada
pejabat eksekutif yang terpilih”.
Sementara menurut Bambang Purwoko
(2005: 10) menjelaskan bahwa: “Dalam Pilkada Langsung, demokrasi yang ada
berarti terbukanya peluang bagi setiap warga masyrakat untuk menduduki jabatan
publik, juga berati adanya kesempatan bagi rakyat untuk menggunakan hak-hak
politiknya secara langsung dan kesempatan untuk menentukan pilihan dan ikut
serta mengendalikan jalannya pemerintahan”.
Dengan demikian adanya Pilkada
secara langsung ini, proses demokratisasi ditingkat lokal sudah dapat
diwujudkan sehingga dapat diperoleh pemimpin yang sesuai dengan pilihan yang
dapat diterima dan dikehendaki oleh rakyat didaerahnya sehingga pemimpin rakyat
tersebut dapat merealisasikan kepentingan dan kehendak rakyatnya secara
bertanggung jawab sesuai potensi yang ada untuk mensejahterakan masyarakat
daerahnya. Dilaksanakannya pilkada secara langsung pastilah memiliki suatu
tujuan, dimana untuk menjalankan amanat atau berdasarkan pada Pancasila dan UUD
1945 yakni untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
Menurut Agung Djokosukarto, ada 5
dimensi dan tujuan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung, yaitu:
- Mengapresiasikan
HAM dalam bidang politik
- mewujudkan
prinsip demokrasi partisipatif (asas partisipasi universal)
- mewujudkan
tatanan keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif daerah.
- Mewujudkan
tatanan kehidupan masyarakat madani yang egalite
- mewujudkan tata
kelola pemerintahan derah sesuai dengan prinsip good governance, serta memperkuat
kemandirian daerah dan berotonomi
Menurut
Fitriyah (2005:1) :
“Pentingnya
PILKADA secara langsung membuat semua daerah harus mempersiapkan diri mereka
sebaik-baiknya dan berusaha bagaimana dapat berlangsung demokratis dan
berkualitas sehingga benar-benar mendapatkan kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang dapat membawa kemajuan bagi daerah sekaligus memberdayakan
masyarakat daerahnya. Selain itu, salah satu tujuan diselenggarakannya pilkada
secara langsung ini juga dapat memberikan pendidikan politik bagi masyarakat
didaerah, dimana nantinya mereka menjadi lebih pengalaman dan ikut
berpartisipasi dalam kegiatan politik. “
PILKADA
langsung sebagai pembelajaran politik yang mencakup tiga aspek yaitu:
Meningkatkan kesadaran politik masyarakat lokal; Mengorganisir masyarakat
kedalam suatu aktivitas politik yang memberikan peluang lebih besar pada setiap
orang untuk berpartisipasi; dan Memperluas akses masyarakat lokal untuk
mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Selain
itu, hal yang terpenting dari pilkada ini adalah sebuah sarana demokratisasi di
tingkat lokal yang dapat menegakkan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan calon yang terpilih akan kuat legitimasinya karena
dipilih langsung oleh rakyat sehingga tercipta stabilitas politik dalam
pemerintahan daerah. menurut Fitriyah (2005)
2.
Sistem pilkada di Indonesia
Sistem
pemilihan umum adalah merupakan salah satu instrumen kelembagaan penting di
dalam negara demokrasi. Demokrasi itu di tandai dengan 3 (tiga) syarat yakni :
adanya kompetisi di dalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, adanya
partisipasi masyarakat, adanya jaminan hak-hak sipil dan politik. Untuk
memenuhi persyaratan tersebut diadakanlah sistem pemilihan umum, dengan sistem
ini kompetisi, partisipasi, dan jaminan hak-hak politik bisa terpenuhi dan
dapat dilihat. Secara sederhana sistem politik berarti instrumen untuk
menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang di
menangkan oleh partai atau calon. Sistem pemilu di bagi menjadi dua kelompok
yakni :
1.
sistem distrik ( satu daerah pemilihan memilih
satu wakil )
Di dalanm sistem
distrik satu wilayah kecil memilih satu wakil tunggal atas dasar suara
terbanyak, sistem distrik memiliki variasi, yakni :
·
firs past the post : sistem yang menggunakan
single memberdistrict dan pemilihan yang berpusat pada calon, pemenagnya adalah
calon yang memiliki suara terbanyak.
·
the two round system : sistem ini menggunakan
putaran kedua sebagai landasan untuk menentukan pemenang pemilu. hal ini
dilakukan untuk menghasilkan pemenang yang memperoleh suara mayoritas.
·
the alternative vote : sama seperti firs past
the post bedanya para pemilih diberi otoritas untuk menentukan preverensinya
melalui penentuan ranking terhadap calon-calon yang ada.
block vote : para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon yang terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-calon yang ada.
block vote : para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon yang terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-calon yang ada.
2.
sistem proporsional ( satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil )
Dalam sistem ini satu wilayah besar memilih
beberapa wakil. prinsip utama di dalam sistem ini adalah adanya terjemahan
capaian suara di dalam pemilu oleh peserta pemilu ke dalam alokasi kursi di
lembaga perwakilan secara proporsional, sistem ini menggunakan sistem
multimember districts. ada dua macam sitem di dalam sitem proporsional, yakni ;
·
list proportional representation : disini
partai-partai peserta pemilu menunjukan daftar calon yang diajukan, para
pemilih cukup memilih partai. alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut
yang sudah ada.
·
the single transferable vote : para pemilih di
beri otoritas untuk menentukan preferensinya. pemenangnya didasarkan atas
penggunaan kuota.
Perbedaan pokok antara sistem distrik dan
proporsional adalah bahwa cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan
perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai
politik.
Di
Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum sejak kemerdekaan
Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan umum yang di anut oleh Indonesia
dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional, adanya usulan sistem
pemilihan umum Distrik di indonesia yang sempat diajukan, ternyata di tolak.
Pemilu-pemilu paska Soeharto tetap menggunakan sistem proporsional dengan
alasan bahwa sistem ini dianggap sebagai sistem yang lebih pas untuk Indonesia.
Hal ini berkaitan dengan tingkat kemajemukan masyarakat di Indonesia yang cukup
besar. Terdapat kekhawatiran ketika sistem distrik di pakai akan banyak
kelompok-kelompok yang tidak terwakili khususnya kelompok kecil. Disamping itu
sistem pemilu merupakan bagian dari apa yang terdapat dalam UU Pemilu 1999 yang
di putuskan oleh para wakil yang duduk di DPR. Para wakil tersebut berpandangan
bahwa sistem proporsional itu lebih menguntungkan dari pada sistem distrik.
Sistem proporsional tetap dipilih menjadi sistem pemilihan umum di Indonesia
bisa jadi sistem ini yang akan terus di pakai. hal ini tak lepas dari realitas
yang pernah terjadi di negara-negara lain bahwa mengubah sistem pemilu itu
merupakan sesuatu yang sangat sulit perubahan itu dapat memungkinkan jika
terdapat perubahan politik yang radikal. Di Indonesia sendiri sistem
Proporsional telah mengalami perubahan-perubahan yakni dari perubahan
proporsional tertutup menjadi sistem proporsional semi daftar terbuka dan
sistem proporsional daftar terbuka.
Pasca
pemerintahan Soeharto 1999, 2004 dan 2009 terdapat perubahan terhadap sistem
pemilu di Indonesia yakni terjadinya modifikasi sistem proporsional di
indonesia, dari proporsional tertutup menjadi proporsional semi daftar terbuka.
Dilihat dari daerah pemilihan terdapat perubahan antara pemilu 1999 dengan masa
orde baru. pada orde baru yang menjadi daerah pilihan adalah provinsi, alokasi
kursinya murni di dasarkan pada perolehan suara di dalam satu provinsi,
sedangkan di tahun 1999 provinsi masih sebagai daerah pilihan namun sudah
menjadi pertimbangan kabupaten/kota dan alokasi kursi dari partai peserta
pemilu didasarkan pada perolehan suara yang ada di masing-masing provinsi
tetapi mulai mempertimbangkan perolehan calon dari masing-masing kabupaten
/kota. Pada pemilu 2004 daerah pemilihan tidak lagi provinsi melainkan daerah
yang lebih kecil lagi meskipun ada juga daerah pemilihan yang mencangkup satu
provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, kepulauan Riau,
Yogyakarta, Bali, NTB, semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi Utara dan Tenggara,
Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya Barat. masing-masing
daerah pilihan mendapat jatah antara 3-12 kursi. Pada pemilu 2009 besaran
daerah pemilihan untuk DPR diperkecil antara 3-10. Perbedaan lain berkaitan
dengan pilihan terhadap kontestan. pada pemilu 1999 dan orde baru para pemilih
cukup memilih tanda gambar kontestan pemilu. pada tahun 2004 para pemilih boleh
mencoblos tanda gambar kontestan pemilu dan juga mencoblos calonnya. hal ini
dimaksudkan agar pemilih dapat mengenal dan menetukan siapa yang menjadi wakil
di DPR dan memberikan kesempatan pada calon yang tidak berda di nomor atas
untuk terpilih asalkan memenuhi jumlah bilangan pembagi pemilih (BPP),
dikatakan perubahan proporsional ini semi daftar terbuka karena penentuan siapa
yang akan mewakili partai didalam perolehan kursi di DPR/D tidak didasarkan
para perolehan suara tebanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut, kalupun
di luar nomer urut harus memiliki suara yang mencukupi BPP.
Sistem proporsional semi daftar terbuka sendiri pada
dasarny merupakan hasil sebuah kompromi. dalam pembahasan RUU mengenai hasil
pemilu pada 2002, PDIP, GOLKAR, PPP terang-terangan menolak sistem daftar
terbuka, dikarenakan penetuan caleg merupakan hak partai peserta pemilu. memang
jika diberlakukannya sistem daftar terbuka akan mengurangi otoritas partai di
dalam menyeleksi caleg mana saja yang di pandang lebih pas duduk di DPR/D.
tetapi tiga partai itu akhirnya menyetujui perubahan hanya saja perubahannya
tidak terbuka secara bebas melainkan setengah terbuka. perubahan-perubahan
disain kelembagaan seperti itu pada kenyataannya tidak membawa perubahan yang
berarti. ada beberapa penyebab diantaranya yaitu : pada kenyataannya para
pemilih tetap lebih suka memilih tanda gambar dari pada menggabungkannya dengan
memilih calon yang ada di dalam daftar pemilih karena lebih mudah. selain itu,
di lihat dari tingkat keterwakilan masih mengandung masalah. permasalahan ini
khususnya berkaitan dengan perbandingan jumlah suara dengan jumlah alokasi kursi
di DPR/D kepada partai-partai. di sisi lain juga nilai BPP antara daerah
pemilihan yang satu dengan daerah pemilihan yang lain memiliki perbedaan.
mengingat sistem. hal ini terkait dua hal yakni pertama terdapat upaya untuk
mengakomodasi gagasan adanaya keterwakilan yang berimbang antara Jawa dan luar
Jawa, kedua secara kelembagaan terdapat keputusan bahwa satu daerah pemilihan
mininal memiliki 3 kursi. implikasinya adalah terdapatnya daerah pemilih bahwa
BPP nya berada di bawah rata-rata BPP nasional tetapi ada juga yang berada dia
atas BPP nasional.
Memingat sistem pemilu yang sudah di modifikasi dan
mengalami sedikit perbaikan itu masih tidak terlepas dari kekurangan, terdapat
usul untuk melakukan modifikasi sistem proporsional lanjutan. kalau pada pemilu
2004 sudah dipakai sistem daftar setengah terbuka, untuk pemilu-pemilu
selanjutnya usulan digunakannya sistem daftar terbuka. di dalam sistem ini
digunakan nomor urut di dalam daftar calon tidak lagi dijadikan ukuran untuk
menjadikan calon mana yang mewakili partai di dalam perolehan kursi sekitarnya
tidak ada calon yang memenuhi BPP yang di jadikan ukuranya adalah calon yag
memperoleh suara terbanyak. Presiden SBY termasuk yang pernah mengusulkan
sistem demikian sebagaimana dijelaskan oleh Andi sistem ini baik untuk partai
karena semua calon akan berkerja keras untuk partainya. rakyat juga mendapatkan
pilihan yang jelas. sebab siapa yang paling banyak mendapat sura akan masuk ke
parlemen tanpa memakai nomer urut yang keriterianya tidak sering jelas dan menjadi
sumber politik uang. sistem ini juga mendapat dukunagn dari PAN akan tetapi
PDIP menolak, sebagimana dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo, dengan menghapuskan
nomer urut itu justru membuka peluang money politics dan dianggap
mendeligitimasi keberadaan partai, demikian juga Jusuf Kalla (GOLKAR)
menurutnya sistem terbuka tanpa nomer urut dapat di lakukan secara teoritis
tapi sulit praktiknya. perdebatan smacam itu telah di selesaikan di dadal UU
pemilu No 10 tahun 2008. UU ini merupakan aturan dasar untuk pemilu 2009 di
dalam UU ini memang disebutkan bahwa pada pemilu 1999 Indonesia menganut sistem
daftar terbuka. tetapi kenyataanya Indonesia masih menganut sistem semi daftar
terbuka. hal ini tidak terlepas dari aturan bahwa calon yang memperoleh suara
terbanyak di dalam suatu partai tidak otomatis terpilih menjadi wakil. tapi
yang membedakan dengan pemilu 2004 adalah bahwa di dalam pemilu 2009 yang
memperoleh suara min 30% dari BPP memiliki kesempatan mewakili partai di dalam
perolehan porsi meskipun tidak berada di nomer urut jadi. di samping itu pemilu
2009 juga memperkuat tuntutan pemberian kepada perempuan semua partai wajib
menyertakan calon perempuan sebanyak 30%, atau 1 dari setiap 3 calon harus
perempuan. tetapi aturan wajib ini tidak disertai sanksi yang jelas dan tegas
manakala ada partai-partai yang melanggarnya.
Keputusan sebagaimana yang terdapat di dalam UU no 10
tahun 2008 mengalami perubahan setelah hampir setahun, kemudian MK mengabulkan
tentang suara terbanyak sebagai patokan untuk mengalokasikan kursi kepada
partai-partai yang memperoleh kursi. keputusan ini menjadikan sistem pemilu di
Indonesia benar-benar masuk kedalam kategori sistem proporsional daftar
terbuka. Calon yang memperoleh suara terbanyak yang akan
lolos menjadi anggota DPR/D dari partai yang memperoleh alokasi kursi. Akibat
dari perubahan-perubahan itu, pemilu 2009 dan bisa jadi pemilu-pemilu
selanjutnya memiliki konsekuensi-konsekuensi tersendiri. pertama, kompetisi
partai semakin kuat seiring di berlakukannya parliementary thresholdparliementary
threshold adalah dimungkinkannya sistem multipartai sederhana di dalam
pemerintahan di tingkat pusat, multipartai di dalam pemerintahan di daerah
dandi pemilu. hasil pemilu 2009 menunjukan 9 partai yang mendapat kursi di DPR
karena lolos parliementary threshold dan tidak sedikit juga partai-partai yang
tidak memiliki kursi di DPR tetapi mendapat kursi di DPRD. Hal ini dikarenakan
ketentuan PT hanya berlaku untuk DPR bukan untuk DPRD. Realitas ini memperkuat
pandangan bahwa aturan main di dalam sistem pemilu itu mewakili implikasi yang
cukup besar pada alokasi kursi atau perwakilan dan kekuatan-kekuatan politik
yang ada. dan pengecilan besaran Daftar pilih untuk pemilu anggota DPR. Kedua,
kompitisi internal partai semakin tinggi. Kompitisi akhir ini mencangkup
kompitisi antarcalon di dalam setiap Dapil dan antar calon laki-laki dan
perempuan. Kompetisi ini menjadi sangat tinggi setelah pengalokasian kursi
menggunakan mekanisme (suara terbanyak). Kompetisi antar partai dan antar calon
di internal partai itu lebih mengemuka lagi karena kurun waktu kampanye
berlangsung lebih lama, setelah ditetapkannya partai peserta pemilu partai dan
calon bisa langsung melaksanakan kampanye dialogis, dan sebagai konsekuensi di
berlakukannya
BAB III
PERMASALAHAN
Sebuah video live di Facebook yang diunggah Alvin Herlia, misalnya,
menunjukan adanya masalah di sebuah TPS di Kelapa Gading.
"Kemarin banyak warga yang datang tanpa formulir C6 tapi membawa
E-KTP namun tidak dapat mencoblos," katanya pada BBC Indonesia. Ketika
itu, menurut Alvin, surat suara masih banyak tetapi tidak dibolehkan karena
surat pernyataan yang tersedia di TPS hanya sedikit.
Menurut aturan, warga yang tidak terdaftar dalam DPT masih bisa memilih
dengan membawa E-KTP ke TPS pada pukul 12.00-13.00 siang. Para pemilih ini
kemudian diminta menandatangani surat pernyataan (yang disediakan di TPS) yang
menyatakan hanya satu kali menggunakan hak pilih.
"Sekitar 100 orang tidak bisa memlih," kata Alvin. "Warga
marah kemarin, karena surat suara sebenarnya masih banyak. Dulu-dulu belum
pernah seperti ini, baik pilpres maupun pileg."
'Kecurangan-kecurangan' itu
dipandang oleh Satu suara sangat berharga bagi tim pemenangan Ahok-Djarot dan
tim Anies-Sandi yang dengan cepat mengklaim unggul dalam exit
poll kemarin,
membuat jagoan mereka gagal menang satu putaran.
Tapi seberapa banyak sebenarnya suara yang hilang?
Tim Anies-Sandi mengatakan
potensi hilangnya suara mereka bisa mencapai ribuan. "Laporan dari
beberapa, ada yang sampai 200, 300, ada beberapa puluh. Kalaudirekap dari
13.000-an TPS jumlahnya bisa ribuan," kata Yupen Hadi, Wakil Ketua Bidang
Advokasi dan Keamanan Tim Pemenangan Anies-Sandi.
Dia yakin "kalau saja kantong-kantong (dukungan Anies-Sandi) 'tidak
jebol,' mestinya kita menang satu putaran."
Sekretaris DPW Partai Nasdem DKI Wibi Andrino dari kubu Ahok-Djarot
tidak bisa menyebut jumlah pasti laporan, tetapi jumlah laporan terbanyak
mereka terima dari daerah Jakarta Selatan, seperti Tebet, Senayan, dan Pasar
Minggu.
"Orang yang tidak bisa mencoblos karena merasa dihalang-halangi,
(misalnya) karena kertas suara habis. Kemudian ketentuan awal untuk membawa KTP
saja jika tidak terdaftar di DPT, ternyata sampai sana, disuruh bawa KK, ketika
sudah bawa KK, disuruh mengantri sampai jam satu, akhirnya tidak diteruskan."
"Saksi kita juga dihalang-halangi, diminta buka baju kotak-kotak,
sementara yang saksi pakai baju hitam dan pakai baju putih tidak apa-apa."
BAB IV
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN DEMOKRASI DAN LANDASAN HUKUM PILKADA
Kata demokrasi
berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang
berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari
rakyat oleh rakyat, untuk rakyat. Pemerintahan yang kewenangannya pada rakyat.
Semua anggota masyarakat (yang memenuhi syarat) diikutsertakan dalam kehidupan
kenegaraan dalam aktivitas pemilu. Pelaksanaan dari demokrasi ini telah
dilakukan dari dahulu di berbagai daerah di Indonesia hingga Indonesia merdeka
sampai sekarang ini. Demokrasi di negara Indonesia bersumberkan dari Pancasila
dan UUD ’45 sehingga sering disebut dengan demokrasi pancasila. Demokrasi
Pancasila berartikan musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan berpangkal tolak
pada faham kekeluargaan dan kegotongroyongan. Demokrasi
adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai
upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara
untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
a. Menurut
Internasional Commision of Jurits
Demokrasi
adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi
ditangan rakyat dan di jalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang
mereka pilih dibawah sistem pemilihan yang bebas. Jadi, yang di utamakan dalam
pemerintahan demokrasi adalah rakyat.
b. Menurut Lincoln
Demokrasi
adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government
of the people, by the people, and for the people).
c. Menurut C.F
Strong
Suatu sistem
pemerintahan di mana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut
serta atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa pemerintahan akhirnya
mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan kepada mayoritas itu.
Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) merupakan rekruitmen
politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri
sebagai Kepala Daerah, baik Gubernur/Wakil Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati atau
Walikota/ Wakil Walikota.
Indonesia pertama kali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu yang secara langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Dan mulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat.
Indonesia pertama kali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu yang secara langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Dan mulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat.
Beberapa
kelebihan dalam penyelenggaraan pilkada langsung antara lain sebagai berikut :
1.
Pilkada
langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan
presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah
dilakukan secara langsung.
2.
Pilkada
langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan
Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing
sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
3.
Pilkada
langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat .Ia
menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan
dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya
memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4.
Pilkada
langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi
daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin
lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal
dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi
masyarakat agar dapat diwujudkan.
5.
Pilkada
langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional.
Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah
penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita
miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar
yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional
justru dari pilkada langsung ini.
Kepala Daerah adalah jabatan politik atau jabatan publik yang
bertugas memimpin birokrasi menggerakkan jalannya roda pemerintahan.
Fungsi-fungsi pemerintahan terbagi menjadi perlindungan, pelayanan publik, dan
pembangunan. Kepala Daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan atas ketiga
fungsi pemerintahan tersebut. Dalam konteks struktur kekuasaan, Kepala Daerah
adalah kepala eksekutif di daerah.
Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) diatur dalam perundang-undangan
sebagai berikut:
- Pasal 56
Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah: Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil.
- Pasal 1
angka 4 Undang Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu: Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah pemilihan untuk memilih gubernur,
bupati, dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
- Pasal 1
angka 5 Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota: Pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang
selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di
provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota
secara demokratis melalui lembaga perwakilan rakyat.
- Undang-Undang
No. 1 Tahun 2015: Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang
selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di
Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota
secara langsung dan demokratis.
- Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2015: Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang
selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di
wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota
secara langsung dan demokratis.
Pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) yang bertanggung jawab kepada DPRD. Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada DPRD.
Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah yang keanggotaannya
terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers dan tokoh
masyarakat.
B. Syarat Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah
Untuk menjadi Kepala Daerah, seorang bakal calon Kepala Daerah
harus memiliki syarat-syarat tertentu agar dapat menjadi seorang calon
Gubernur, calon Bupati, dan calon Walikota. Syarat utama adalah seorang warga
Negara Indonesia dan persyaratan lain sebagai berikut (Pasal 13 Undang Undang Nomor
22 Tahun 2014):
- Bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Setia
kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,
dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Berpendidikan
paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat.
- Telah
mengikuti uji publik.
- Berusia
paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon gubernur dan 25 (dua puluh
lima) tahun untuk calon bupati dan calon walikota.
- Mampu
secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan
menyeluruh dari tim dokter.
- Tidak
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara di atas 5 (lima) tahun.
- Tidak
sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Tidak
pernah melakukan perbuatan tercela.
- Menyerahkan
daftar kekayaan pribadi.
- Tidak
sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan
hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara.
- Tidak
sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan memiliki laporan pajak pribadi.
- Belum
pernah menjabat sebagai gubernur, bupati, dan/atau walikota selama 2 (dua)
kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
- Berhenti
dari jabatannya bagi gubernur, bupati, dan walikota yang mencalonkan diri
di daerah lain.
- Tidak
berstatus sebagai penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat
walikota.
- Tidak
memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
- Memberitahukan
pencalonannya sebagai gubernur, bupati, dan walikota kepada Pimpinan DPR,
DPD, atau DPRD bagi anggota DPR, DPD, atau DPRD.
- Mengundurkan
diri sebagai anggota TNI/Polri dan PNS sejak mendaftarkan diri sebagai
calon.
- Berhenti
dari jabatan pada Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah;
dan
- Tidak
berstatus sebagai anggota Panlih gubernur, bupati, dan walikota.
C.
TATACARA DAN MEKANISME PILKADA
Sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Nomer 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nemer 6 Tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian.
Tahapan
Pilkada secara langsung dibagi menjadi 2 (dua) tahap yaitu tahap persiapan dan
tahap pelaksanaan.
1.
Tahap Persiapan, meliputi
:
1)
Pemberitahuan
DPRD kepada KDH dan KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah.
2)
Dengan
adanya pemberitahuan dimaksud KDH berkewajiban untuk menyampaikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah dan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD.
3)
KPUD
dengan pemberitahuan dimaksud menetapkan rencana penyelenggaraan Pemilihan KDH
dan WKDH yang meliputi penetapan tatacara dan jadwal tahapan PILKADA, membentuk
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok
Penyelenggara pemungutan Suara (KPPS) serta pemberitahuan dan pendaftaran
pemantau.
4)
DPRD
membentuk Panitia pengawas Pemilihan yang unsurnya terdiri dari Kepolisian,
Kejaksaan, perguruan Tinggi, Pers dan Tokoh masyarakat.
Dalam tahap persiapan tugas DPRD semenjak memberitahukan
berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah, DPRD paling lambat 20 hari setelah
pemberitahuan tersebut, sudah membentuk Panitia pengawas (panwas) sampai dengan
tingkat terendah. Misal untuk pemilihan Gubernur Panwas Provinsi, Panwas
Kabupaten/Kota dan Panwas Kecamatan. Hal ini agar Panwas dapat mengawasi proses
penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS) sampai dengan Daftar Pemilih Tetap
(DPT), begitu juga proses pencalonan, kampanye sampai dengan pemungutan dan
penghitungan suara.
Kepada KPUD, dalam
penetapan jadwal pelaksanaan Pilkada khususnya terhadap hari pemungutan suara,
diminta kepada KPUD untuk memperhitungkan waktu penetapan hari pemungutan suara
jangan terlalu cepat, karena Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih
baru dapat dilantik sesuai dengan tanggal berakhirnya masa jabatan Kepala
Daerah yang lama. Walaupun
dalam ketentuan tidak diatur batasan waktu paling cepat untuk hari pemungutan
suara.
2.
Tahap Pelaksanaan.
Tahap
pelaksanaan meliputi penetapan daftar pemilih, pengumuman pendaftaran dan
penetapan pasangan calon, kampanye, masa tenang, pemungutan suara, penghitungan
suara, penetapan pasangan calon terpilih serta pengusulan pasangan calon
terpilih.
1) Penetapan Daftar Pemilih
Untuk menggunakan hak
memilih, WNRI harus terdaftar sebagai pemilih dengan persyaratan tidak sedang
terganggu jiwa/ingatannya dan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Meski telah
terdaftar dalam daftar pemilih tetapi pada saat pelaksanaannya ternyata tidak
lagi memenuhi syarat, maka yang bersangkutan tidak dapat menggunakan hak
pilihnya.
Penetapan daftar pemilih.
dalam Pilkada menggunakan daftar pemilih Pemilu terakhir di daerah yang telah
dimutakhirkan dan divalidasi ditambah dengan data pemilih tambahan digunakan
sebagai bahan penyusunan daftar pemilih sementara.
Daftar pemilih sementara
disusun dan ditetapkan oleh PPS dan harus diumumkan oleh PPS ditempat yang
mudah dijangkau oleh masyarakat untuk mendapatkan tanggapan dari masyarakat. Setiap pemilih
yang telah terdaftar dan ditetapkan sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap
(DPT) diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih yang
digunakan setiap pemungutan suara. Dalam penyusunan daftar pemilih sementara
diminta kepada KPUD untuk melibatkan RT dan RW untuk mendapat tanggapan
masyarakat.
2)
Pengumuman Pendaftaran dan Penetapan Pasangan Calon
Peserta pemilihan adalah
pasangan calon yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
yang memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15 % jumlah kursi di
DPRD atau 15 % dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD
di daerah yang bersangkutan.
Dalam hal Partai Politik
atau gabungan Partai Politik dalam mengusulkan pasangan calon menggunakan
ketentuan memperoleh sekurang-kurangnya 15 % jumlah kursi DPRD apabila hasil
bagi jumlah kursi menghasilkan angka pecahan maka perolehan 15 % dari jumlah
kursi dihitung dengan pembulatan ke atas, sebagai contoh jumlah kursi DPRD 45
dikali 15 % sama dengan 6,75 kursi sehingga untuk memenuhi persyaratan 15 %
adalah 7 kursi.
Selanjutnya di dalam melakukan penelitian
persyaratan pasangan calon diminta kepada KPUD untuk selalu independen dan
memberlakukan semua pasangan calon secara adil dan setara serta berkoordinasi
dengan instansi teknis seperti Diknas apabila ijazah cajon diragukan. Begitu
juga apabila terjadi pencalonan ganda oleh Partai Politik agar dikonsultasikan
dengan pengurus tingkat lebih atas Partai Politik yang bersangkutan.
Dalam melakukan penelitian persyaratan pasangan
calon agar dilakukan secara terbuka, apa kekurangan persyaratan dari pasangan
calon dan memperhatikan waktu agar kekurangan persyaratan tersebut dapat
dilengkapi oleh pasangan calon. Bila ada persyaratan yang belum lengkap agar
diberitahukan secepatnya untuk menghindari prates dan ketidak puasan Partai
Politik atau pasangan calon yang bersangkutan. Di dalam menyelenggarakan
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, KPUD provinsi menetapkan KPUD
kabupaten/Kota sebagai bagian pelaksana tahapan penyelenggaraan pemilihan,
sehingga diperlukan langkah-langkah koordinasi yang optimal.
3.
Kampanye
Kampanye dilaksanakan antara lain melalui
pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran melalui media cetak/elektronik,
pemasangan alat peraga dan debat publik yang dilaksanakan selama 14 (empat
belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum pemungutan suara yang disebut
masa tenang.
Terkait dengan kampanye melalui media
cetak/elektronik, Undang-undang menegaskan agar media cetak/elektronik memberi
kesempatan yang sama pada setiap pasangan calon untuk
menyampaikan tema dan materi kampanye. Selain daripada itu
pemerintah daerah juga diwajibkan memberi kesempatan yang sama pada setiap
pasangan calon untuk menggunakan fasilitas umum.
Pengaturan lainnya tentang
kampanye adalah :
1)
Pasangan calon wajib menyampaikan visi misi dan
rogram secara lisan maupun kepada masyarakat.
2)
Penyampaian materi kampanye dilakukan
dengan carasopan, tertib dan bersifat edukatif.
3)
Larangan kampanye antara lain menghasut atau mengadu
domba partai politik atau kelompok masyarakat dan menggunakan fasilitas dan
anggaran pemerintah dan pemerintah daerah serta melakukan pawai arak-arakan
yang dilakukan dengan berjalan kaki atau dengan kendaraan di jalan raya.
4)
Dalam kampanye pasangan calon atau tim kampanye dilarang
melibatkan PNS, TNI/Polri sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam
pemilihan.
5)
Pejabat negara yang menjadi calon kepala daerah dan wakil
Kepala daerah dalam melaksanakan kampanye tidak menggunakan fasilitas yang
terkait dengan jabatannya dan harus menjalankan cuti.
4.
Pengaturan Suara dan
Penghitungan Suara
Pemungutan suara adalah
merupakan puncak dari pesta demokrasi diselenggarakan paling lambat 30 hari
sebelum masa jabatan Kepala Daerah berakhir, dan dilakukan dengan memberikan
suara melalui katok suara yang berisi namor dan foto pasangan calon di TPS yang
telah ditentukan. Di
hari ini hati nurani rakyat akan bicara, sekaligus menentukan siapakah Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diinginkan untuk memimpin daerahnya dan
yang akan menentukan perjalanan daerah selanjutnya.
Pemungutan suara ditingkat
TPS dilaksanakan mulai dari jam 07.00 sampai dengan jam 13.00 waktu setempat
dan pelaksanaan penghitungan suara di TPS dimulai dari jam 13.00 sampai dengan
selesai yang dapat dihadiri oleh saksi pasangan calon Panwas, pemantau dan
warga masyarakat. Proses
rekapitulasi perhitungan suara dilakukan berjenjang mulai dari TPS, PPS, PPK
sampai ke KPU Kabupaten/Kota. Apabila Pemilihan Gubernur sampai dengan KPU
Provinsi. Berita
acara, rekapitulasi hasil perhitungan suara disampaikan kepada pelaksana
Pilkada bersangkutan, pelaksana Pilkada satu tingkat di atasnya, dan juga untuk
para saksi yang hadir.
Jadi, jika proses rekapitulasi dilakukan
ditingkat PPS berita acara dan rekapitulasi itu disampaikan kepada PPS, PPK,
dan para saksi pasangan calon yang hadir. Berdasarkan berita acara dan
rekapitulasi suara yang disampaikan PPK, KPU Kabupaten/Kota kemudian menetapkan
hasil rekapitulasi perhitungan suara dan pengumuman hasil pemilihan
Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota. Apabila Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur berita acara dan rekapitulasi penghitungan suara dari KPU
Kabupaten/Kota disampaikan kepada KPU Provinsi dan kemudian KPU Provinsi
menetapkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan pengumuman hasil pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur.
Pemungutan suara dilakukan
pada hari libur atau hari yang diliburkan. Penetapan hari yang diliburkan oleh Menteri
Dalam Negeri untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta untuk pemilihan
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota oleh Gubernur atas usul KPUD
masing-masing.
5.
Penetapan pasangan Calon
Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% jumlah suara sah langsung
ditetapkan sebagai pasangan terpilih. Apabila perolehan suara itu tidak
terpenuhi, pasangan calon yang memperoleh suara terbesar lebih
dari25% dari suara sah dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
Dalam hal pasangan calon tidak ada yang
memperoleh 25% dari jumlah suara sah maka dilakukan pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah putaran kedua. Sesuai dengan Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri Nomor 120/1808/SJ tanggal 21 Juli 2005, pelaksanaan
Pilkada putaran kedua rentang waktu pelaksanaannya dilaksanakan
selambat-lambatnya 60 hari terhitung mulai tanggal berakhirnya masa waktu
pengajuan keberatan hasil penghitungan suara, apabila terdapat pengajuan
keberatan terhadap hasil penghitungan suara selambat-lambatnya 60 hari dihitung
mulai tanggal adanya keputusan Mahkamah Agung/Pengadilan Tinggi tentang
sengketa hasil pemungutan suara.
Keberatan terhadap hasil
penghitungan suara merupakan kewenangan MA dan dapat mendelegasikan wewenang
pemeriksaan permohonan keberatan hasil penghitungan suara yang diajukan oleh
pasangan calon Bupati/Walikota kepada Pengadilan Tinggi di wilayah hukum
Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.
Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi memutus
permohonan keberatan pada tingkat pertama dan terakhir, dan putusannya bersifat
final dan mengikat selama 14 (em pat belas) hari. Keberatan terhadap hasil
pemilihan hanya dapat diajukan berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang
mempengaruhi terpilihnya pasangan calon dan diajukan paling lambat 3 (tiga)
hari setelah penetapan hasil akhir pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
6.
Pengesahan dan
Pelantikan
DPRD Provinsi mengusulkan pasangan calon
Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga)
hari kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara
penetapan pasangan calon terpiih dari KPUD Provinsi dan dilengkapi berkas
pemilihan untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.
Sedangkan pengusulan
pasangan calon Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota
selambat-lambatnya dalam waktu 3 hari DPRD Kabupaten/Kota mengusulkan pasangan
calon melalui Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara
penetapan pasangan calon terpiih dari KPUD Kabupaten/Kota dan dilengkapi berkas
pemilihan untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.
Kepala Daerah danWakii
Kepala Daerah sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan
sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat yang melantik Gubernur bagi Bupati/Wakii
Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, Menteri Dalam Negeri bagi Gubernur dan
Wakil Gubernur. Pelantikan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilaksanakan di gedung DPRD dalam rapat
paripurna DPRD yang bersifat istimewa atau ditempat lain yang dipandang layak
untuk itu.
D.
MANFAAT
PEMILIHAN KEPALA DAERAH DIPILIH SECARA LANGSUNG.
Salah satu ciri negara demokrasi adalah adanya pemilihan umum yang
dilaksanakan secara periodik, termasuk pemilihan pejabat publik pada tingkat
lokal (kepala daerah). Jadi
dengan kata lain sebagus apa pun sebuah pemerintahan dirancang, ia tak bisa
dianggap demokratis kecuali para pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih
secara bebas oleh warga negara dengan cara yang terbuka dan jujur.
Ada berbagai pendapat yang megnutarakan tentang
keuntungan atau manfaat dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara
langsung, salah satunya yaitu pendapat Warsito, Dekan FISIP UNDIP Semarang,
yaitu ada enam keuntungan pilkada langsung yaitu diantaranya sebagai berikut :
1.
Pemilihan
langsung oleh rakyat anggota DPR, DPRD, presiden, kepala daerah dan kepala desa, menunjukkan adanya
konsistensi penyelenggaraan pemerintahan dalam mekanisme pemilihan pejabat
pubik.
2.
Pemilihan
kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan proses politik untuk menuju
pada kehidupan politik yang lebih demokratis dan bertanggung jawab. Para
pejabat publik yang dipilih oleh rakyat akan mempertanggungjawabkan kepada
rakyat, karena rakyat yang memiliki kedaulatan. Harapannya adalah setiap
keputusan politik yang diambil oleh pejabat publik semata-mata untuk
kepentingan rakyat. Pemilihan yang bebas dan adil adalah hal yang penting dalam
menjamin "kesepakatan mereka yang diperintah " sebagai fondasi
politik demokratis. Mereka dengan serta merta menjadi instrumen baik untuk
penyerahan kekuasaan dan legitimasi, karena pemilu yang tidak jujur bisa menimbulkan
keraguan-keraguan pada kemenangan seseorang yang menduduki jabatan di
pemerintahan, keraguan tersebut akan mengurangi kecakapannya dalam memerintah
(Grier Stephenson, 2001 hal : 21).
3.
Pemilihan
Kepala Daerah secara langsung merupakan proses politik yang dapat memberikan
pendidikan politik kepada rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
kerangka stabilitas nasional. Dengan pemilihan secara langsung, rakyat lama
kelamaan akan memahami tujuan untuk apa pemilihan diselenggarakan dengan demikian
mereka akan semakin kritis dalam mempertaruhkan hak-haknya.
4.
Pemilihan
kepala daerah secara langsung oleh rakyat akan mendorong pendewasaan partai
politik, terutama dalam perekrutan kader partai politik yang akan ditempatkan
sebagai calon kepala daerah. Calon yang ditetapkan oleh partai politik adalah
mereka yang telah diseleksi oleh partai dan diperkirakan memenangkan persaingan
untuk merebut suara rakyat. Jadi pemilihan kepala daerah secara langsung
merupakan seleksi kepemimpinan lokal yang ideal untuk mendapatkan sepasang
gubernur, bupati dan walikota yang lebih berkualitas dan bertanggung jawab.
Seorang pejabat publik yang memperoleh dukungan luas dan kuat dari rakyat akan
menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan negara dalam rangka tercapainya tujuan negara
pada tingkat lokal. Mereka akan merasa terikat dengan suara rakyat dan
memperjuangkan kepentingan rakyat. Pemilihan kepala daerah secara langsung dan
periodik akan mengalami dinamika dalam kehidupan politik rakyat. Rakyat akan
semakin rasional dalam menentukan pilihan sehingga tidak ada partai atau faksi
dalam sebuah partai yang mempunyai jaminan untuk selamanya berkuasa atau mampu
menempatkan kadernya sebagai kepala daerah.
5.
Pemilihan
kepala daerah secara langsung akan memperkuat dan mengembangkan konsep check
and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan . Pemilihan kepala
daerah secara langsung, maka kepala daerah akan bertanggung jawab kepada rakyat
bukan kepada DPRD. Dengan demikian kedudukan kepala daerah kuat sebagai pejabat
pelaksana kebijakan politik, oleh karena itu apabila posisi kepala daerah hasil
pilihan rakyat didukung oleh DPRD yang aspiratif dan mampu menjalankan
fungsinya dengan baik maka konsep check and balances akan
dapat terlaksana dengan baik.
6.
Masyarakat
paham terhadap kedaulatan. Dalam UU No 22 Th. 1999, disebutkan kepala daerah
dipilih oleh DPRD. Hal ini dapat dipahami bahwa kedaulatan rakyat diserahkan
kepada lembaga perwakilan yaitu DPRD . Penyerahan kedaulatan seperti itu
rasanya tidak dapat karena kedaulatan merupakan hak yang tidak dapat
didelegasikan atau diserahkan kepada lembaga manapun. Kedaulatan melekat pada
rakyat yang sewaktu-waktu dapat dikontrol dan kemungkinan ditarik apabila dalam
pelaksanaan kebijakan kepala daerah menyimpang dari yang diharapkan , oleh
karena itu seharusnya tidak diserahkan kepada sebuah lembaga.
E.
Pelaksanaan
dan Penyelewengan Pilkada
Pilkada ini
ditujukan untuk memilih Kepala daerah di 226 wilayah yang tersebar dalam 11
provinsi dan 215 di kabupaten dan kota. Rakyat memilih kepala daerah masing
masing secara langsung dan sesuai hati nurani masing-masing. Dengan begini
diharapkan kepala daerah yang terpilih merupakan pilihan rakyat daerah
tersebut. Dalam pelaksanaannya pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum
Daerah masing masing.Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat yaitu
mengatur pelaksanaan pilkada agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai
dari seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan pilkada.
Dalam
pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan
pemakaian ijazah palsu oleh bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali.
Seandainya calon tersebut dapat lolos bagaimana nantinya daerah tersebut karena
telah dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena mulai dari awal saja sudah
menggunakan cara yang tidak benar. Dan juga biaya untuk menjadi calon yang
tidak sedikit, jika tidak ikhlas ingin memimpin maka tindakan yang pertama
adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kembali atau “balik
modal”. Ini sangat berbahaya sekali.
Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang
menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat
menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan mengerahkan
massanya untuk mendatangi KPUD setempat. Kasus kasus yang masih hangat yaitu
pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di pulau sumatra. Hal ini
membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD
sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan Ikrar siap menang
dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut.
Selain masalah dari para bakal calon, terdapat
juga permasalahan yang timbul dari KPUD setempat. Misalnya saja di Jakarta,
para anggota KPUD terbukti melakukan korupsi dana Pemilu tersebut. Dana yang
seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata dikorupsi. Tindakan ini sangat
memprihatinkan. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para
penjabat. Dengan mudah mereka memanfaatkan jabatannya untuk kesenangan dirinya
sendiri. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon juga kejadian
seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta.
Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak
sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan
oleh para bakal calon seperti :
- Money politik
Sepertinya
money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada.Dengan
memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka
dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu
di lingkungan desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal
tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang
kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang
dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan
seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah
hanya karena uang.
Jadi sangat
rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang
yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.
- Intimidasi
Intimidasi ini
juga sangat bahaya. Sebagai contoh yaitu pegawai pemerintah melakukan
intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat
menyeleweng dari aturan pelaksanaan pemilu.
- Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini
paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas aturan-aturan yang berlaku
dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho,
spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan kepala daerah
saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya
sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika
sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media
kampanye. Bakal calon menyampaikan visi misinya dalam acara tersebut padahal
jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
- Kampanye negative
Kampanye
negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada
masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat masih kurang terhadap
pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang di sekitar
mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah pada
munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.
F.
Solusi
Dalam
melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi kita dapat
meminimalkan kendala-kendala itu. Untuk itulah diperlukan peran dan serta
masyarakat karena ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah saja. Untuk
menaggulangi permasalah yang timbul dalam pilkada bisa ditempuh dengan cara
sebagai berikut :
- Seluruh
pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga
ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat
yang merupakan panutan dapat menjadi suri tauladan bagi
masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik.
- Semua
warga saling menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika muncul
perbedaan pendapat satu sama lain namun hal ini diharapkan tidak
menimbulkan konflik. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain,
maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar.
- Meningkatkan
sosialisasi kepada warga. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan
masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat. Sehingga
menghindari kemungkinan fitnah terhadap calon yang lain.
- Memilih
dengan hati nurani. Dalam memilih calon kita harus memilih dengan hati
nurani sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip prinsip
dari pemilu dapat terlaksana dengan baik.
KESIMPULAN
Kesimpulan:
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)
sebagai instrumen dalam penguatan desentralisasi dan otonomi daerah ternyata
masih menyimpan berbagai masalah dan menjadi dilema dalam penerapan dan
pelaksanannya di Indonesia. Salah satu hal pokok yang menjadi dilema adalah
adanya persaingan yang tidak kompetitif diantara peserta pemilihan umum kepala
daerah. Aroma primordialisme masih banyak ditemui di daerah-daerah
penyelenggara pemilihan umum kepala daerah. Selain itu banyaknya pesoalan lain
seperti terjadinya banyak kecurangan, dalam pihak peserta biasanya penuh
dengan politik uang (money politics). Dapat kita lihat pula, maraknya
politik uang seperti dalam “serangan fajar” yang dilakukan oleh beberapa
peserta pemilihan umum kepala daerah. Hal itu berakibat pada rentannya potensi
konflik yang terjadi pasca-penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah. Disisi
lain juga terjadi fenomena dimana masyarakat justru memilih calon yang
didasarkan pada popularitasnya semata. Itulah berbagai dilema yang masih
menggelayuti wajah proses pemilihan umum kepala daerah di Indonesia sebagai
elemen dari penguatan desentralisasi dan otonomi daerah, yang seharusnya dapat
diminimalisir guna meraih optimalisasi pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Saran
Melihat
problema di atas maka perlu suatu solusi. Sebagai solusi untuk permasalahan di
atas diantaranya adalah:
·
Saran
pertama, ditujukan
kepada pemerintah untuk segera merealisasikan pemilihan kepala daerah serentak
untuk mengurangi biaya pemilihan kepala daerah.
- Saran kedua, ditujukan kepada lembaga
swadya masyarakat untuk mencerdaskan masyarakat mengenai arti penting
pemilihan kepala daerah dalam menentukan kehidupan mendatang. Oleh karena
itu jangan mudah diiming-imingkan oleh kenikmatan sesaat.
- Saran ketiga, ditujukan kepada pemuka
masyarakat, agar memberikan penerangan bahwa tidak perlu terjadi konflik
dalam masyarakat tentang pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Bila
kepala daerah yang dijagokan kalah perlu berbesar hati, dan untuk kepala
daerah yang terpilih untuk merangkul semua elemen dalam masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar