Rabu, 24 Mei 2017

SISTEM POLITIK INDONESIA
SISTEM PEMILU KEPALA DAERAH TINGKAT I & II



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kesadaran akan pentingnya demokrasi sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peran serta rakyat Indonesia dalam melaksanakan Pemilihan Umum baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Ini terlihat dari jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya yang sedikit. Pemilihan umum ini dilaksanakan secara langsung pertama kali untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota MPR, DPR, DPD, DPRD di tahun 2004. Walaupun masih terdapat masalah yang timbul ketika waktu pelaksanaan. Tetapi masih dapat dikatakan sukses.
Setelah suksesnya Pemilu tahun 2004, mulai bulan Juni 2005 lalu di 226 daerah meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten dan kota, diadakan Pilkada untuk memilih para pemimpin daerahnya. Sehingga warga dapat menentukan peminpin daerahnya menurut hati nuraninya sendiri. Tidak seperti tahun tahun yang dahulu yang menggunakan perwakilan dari partai. Namun dalam pelaksanaan pilkada ini muncul penyimpangan penyimpangan. Mulai dari masalah administrasi bakal calon sampai dengan yang berhubungan dengan pemilih
Semenjak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Otonomi Daerah telah menjiwai ketatanegaraan Indonesia (Pasal 18 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Realitasnya beberapa undang-undang tentang Pemerintahan Daerah berotonomi telah diterbitkan. Yang mana penerbitan peraturan tersebut memperhatikan dan berorientasi kepada perkembangan sosial politik yang terjadi di wilayah dan daerah-daerah di Indonesia.
Adapun aturan mengenai pemerintah daerah tersebut dalam kurun waktu lima puluh tahun, terdiri dari:
1.      Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945, tentang Komite Nasional Daerah
2.      Undang-undang  Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah
3.      Undang-undang Nomor 2 Tahun 1957, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
4.      Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, tantang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
5.      Tap MPRS No. XXI Tahun 1966, tentang pemberian otonomi seluas-luasnya   Kepada Daerah, (tetapi tidak pernah ditindak lanjuti oleh rezim Orde Baru)
6.      Undang-undang  Nomor 5 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
7.      Tap MPR No. XV Tahun 1998
8.      Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah
9.      Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.
·         Rumusan Masalah
1)      Apa pengertian demokrasi dan landasan hukum Pilkada?
2)      Apa macam-macam penyelewengan Pilkada?
3)      Bagaimana solusi agar tidak terjadi penyelewengan dalam Pilkada?
·         Tujuan Penulisan
1)      Menjelaskan pengertian demokrasi dan landasan hukum Pilkada.
2)      Menjelaskan macam-macam penyelewengan dalam Pilkada.
3)      Menjelaskan solusi agar tidak terjadi penyelewengan dalam Pilkada.

















KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kuasa-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Kami juga berterimakasih kepada setiap pihak yang telah terlibat dan membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Makalah yang berjudul Sistem Pemilu Kepala Daerah Tingkat I & II ini untuk melengkapi tugas mata kuliah Sistem Politik Indonesia. Makalah ini kami susun sedemikian rupa dengan mencari dan menggabungkan sejumlah informasi yang kami dapatkan baik melalui buku, media cetak, elektronik maupun media lainnya. Kami berharap dengan informasi yang kami dapat dan kemudian kami sajikan ini dapat memberikan penjelasan yang cukup tentang Sistem Pemilu Kepala Daerah Tingkat I & II
Demikian satu dua kata yang bisa kami sampaikan kepada seluruh pembaca makalah ini. Jika ada kesalahan baik dalam penulisan maupun kutipan, kami terlebih dahulu memohon maaf dan kami juga berharap semua pihak dapat memakluminya. Semoga semua pihak dapat menikmati dan mengambil esensi dari makalah ini. Terima kasih.




Mataram, 14 April 2017
Penulis








BAB II
KAJIAN TEORI

1.      Teori pilkada
Praktik penyelenggaraan pemerintahan lokal di Indonesia telah mengalami kemajuan sejak masa reformasi, ini dapat dilihat dari diberlakukannya undang-undang  No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan diberlakukannya undang -undang ini, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih desentralistis, dalam arti sebagian besar wewenang di bidang pemerintahan diserahkan kepada daerah. Secara umum undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini telah banyak membawa kemajuan bagi daerah dan juga bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian disisi lain, undang-undang ini dalam pelaksanaannya juga telah menimbulkan dampak negatif, antara lain tampilnya kepala daerah sebagai raja-raja kecil didaerah karena luasnya wewenang yang dimiliki, tidak jelasnya hubungan hierarkis dengan pemerintahan di atasnya, tumbuhnya peluang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di daerah-daerah akibat wewenang yang luas dalam pengelolaan kekayaan dan keuangan daerah serta “money politic” yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah (Abdullah, 2005: 3).
Untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut maka diberlakukanlah undang-undang  No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyrakat, serta mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dilaksanakan secara efektif, efisien dan bertanggung jawab.
Perubahan yang sangat signifikan terhadap perkembangan demokrasi di daerah, sesuai dengan tuntutan reformasi adalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung. Pemilihan kepala daerah secara langsung ini merupakan konsekuensi perubahan tatanan kenegaraan kita akibat Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Undang-undang baru ini pada dasarnya mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan desentralisasi. Hal tersebut dapat dilihat melalui penjabaran dari amanat konstitusi pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Propinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56  Pasal 119 dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Secara eksplisit ketentuan tentang PILKADA langsung tercermin dalam penyelengaraan PILKADA. Dalam Pasal 56 ayat (1) disebutkan:
“Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”. Pilihan terhadap sistem pemilihan langsung menunjukkan koreksi atas Pilkada terdahulu yang menggunakan sistem perwakilan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No.151 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Digunakannya sistem pemilihan langsung ini menunjukkan perkembangan penataan format demokrasi daerah yang berkembang dalam liberalisasi politik (Prihatmoko, 2005: 2).
Pelaksanaan PILKADA Langsung merupakan sebuah peningkatan demokrasi ditingkat lokal, dengan adanya demokrasi dalam sebuah negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya. Menurut Winarno (2002: 11) mengatakan bahwa: “sistem pemilihan secara langsung merupakan alternatif yang paling realistis guna mendekatkan aspirasi demokrasi rakyat dengan kekuasaan pemerintah dan pada saat yang sama memberikan basis legitimasi politik kepada pejabat eksekutif yang terpilih”.
Sementara menurut Bambang Purwoko (2005: 10) menjelaskan bahwa: “Dalam Pilkada Langsung, demokrasi yang ada berarti terbukanya peluang bagi setiap warga masyrakat untuk menduduki jabatan publik, juga berati adanya kesempatan bagi rakyat untuk menggunakan hak-hak politiknya secara langsung dan kesempatan untuk menentukan pilihan dan ikut serta mengendalikan jalannya pemerintahan”.
Dengan demikian adanya Pilkada secara langsung ini, proses demokratisasi ditingkat lokal sudah dapat diwujudkan sehingga dapat diperoleh pemimpin yang sesuai dengan pilihan yang dapat diterima dan dikehendaki oleh rakyat didaerahnya sehingga pemimpin rakyat tersebut dapat merealisasikan kepentingan dan kehendak rakyatnya secara bertanggung jawab sesuai potensi yang ada untuk mensejahterakan masyarakat daerahnya. Dilaksanakannya pilkada secara langsung pastilah memiliki suatu tujuan, dimana untuk menjalankan amanat atau berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 yakni untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
Menurut Agung Djokosukarto, ada 5 dimensi dan tujuan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung, yaitu:
  1. Mengapresiasikan HAM dalam bidang politik
  2. mewujudkan prinsip demokrasi partisipatif (asas partisipasi universal)
  3. mewujudkan tatanan keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif daerah.
  4. Mewujudkan  tatanan kehidupan masyarakat madani yang egalite
  5. mewujudkan tata kelola pemerintahan derah sesuai dengan prinsip good governance, serta memperkuat kemandirian daerah dan berotonomi
Menurut Fitriyah (2005:1) :
“Pentingnya PILKADA secara langsung membuat semua daerah harus mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya dan berusaha bagaimana dapat berlangsung demokratis dan berkualitas sehingga benar-benar mendapatkan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dapat membawa kemajuan bagi daerah sekaligus memberdayakan masyarakat daerahnya. Selain itu, salah satu tujuan diselenggarakannya pilkada secara langsung ini juga dapat memberikan pendidikan politik bagi masyarakat didaerah, dimana nantinya mereka menjadi lebih pengalaman dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik. “
PILKADA langsung sebagai pembelajaran politik yang mencakup tiga aspek yaitu: Meningkatkan kesadaran politik masyarakat lokal; Mengorganisir masyarakat kedalam suatu aktivitas politik yang memberikan peluang lebih besar pada setiap orang untuk berpartisipasi; dan Memperluas akses masyarakat lokal untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Selain itu, hal yang terpenting dari pilkada ini adalah sebuah sarana demokratisasi di tingkat lokal yang dapat menegakkan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan calon yang terpilih akan kuat legitimasinya karena dipilih langsung oleh rakyat sehingga tercipta stabilitas politik dalam pemerintahan daerah. menurut Fitriyah (2005)
2.      Sistem pilkada di Indonesia
Sistem pemilihan umum adalah merupakan salah satu instrumen kelembagaan penting di dalam negara demokrasi. Demokrasi itu di tandai dengan 3 (tiga) syarat yakni : adanya kompetisi di dalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, adanya partisipasi masyarakat, adanya jaminan hak-hak sipil dan politik. Untuk memenuhi persyaratan tersebut diadakanlah sistem pemilihan umum, dengan sistem ini kompetisi, partisipasi, dan jaminan hak-hak politik bisa terpenuhi dan dapat dilihat. Secara sederhana sistem politik berarti instrumen untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang di menangkan oleh partai atau calon. Sistem pemilu di bagi menjadi dua kelompok yakni :
1.      sistem distrik ( satu daerah pemilihan memilih satu wakil )
Di dalanm sistem distrik satu wilayah kecil memilih satu wakil tunggal atas dasar suara terbanyak, sistem distrik memiliki variasi, yakni :
·         firs past the post : sistem yang menggunakan single memberdistrict dan pemilihan yang berpusat pada calon, pemenagnya adalah calon yang memiliki suara terbanyak.
·         the two round system : sistem ini menggunakan putaran kedua sebagai landasan untuk menentukan pemenang pemilu. hal ini dilakukan untuk menghasilkan pemenang yang memperoleh suara mayoritas.
·         the alternative vote : sama seperti firs past the post bedanya para pemilih diberi otoritas untuk menentukan preverensinya melalui penentuan ranking terhadap calon-calon yang ada.
block vote : para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon yang terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-calon yang ada.
2. sistem proporsional ( satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil )
Dalam sistem ini satu wilayah besar memilih beberapa wakil. prinsip utama di dalam sistem ini adalah adanya terjemahan capaian suara di dalam pemilu oleh peserta pemilu ke dalam alokasi kursi di lembaga perwakilan secara proporsional, sistem ini menggunakan sistem multimember districts. ada dua macam sitem di dalam sitem proporsional, yakni ;
·         list proportional representation : disini partai-partai peserta pemilu menunjukan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih partai. alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.
·         the single transferable vote : para pemilih di beri otoritas untuk menentukan preferensinya. pemenangnya didasarkan atas penggunaan kuota.
Perbedaan pokok antara sistem distrik dan proporsional adalah bahwa cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
Di Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum sejak kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan umum yang di anut oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional, adanya usulan sistem pemilihan umum Distrik di indonesia yang sempat diajukan, ternyata di tolak. Pemilu-pemilu paska Soeharto tetap menggunakan sistem proporsional dengan alasan bahwa sistem ini dianggap sebagai sistem yang lebih pas untuk Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tingkat kemajemukan masyarakat di Indonesia yang cukup besar. Terdapat kekhawatiran ketika sistem distrik di pakai akan banyak kelompok-kelompok yang tidak terwakili khususnya kelompok kecil. Disamping itu sistem pemilu merupakan bagian dari apa yang terdapat dalam UU Pemilu 1999 yang di putuskan oleh para wakil yang duduk di DPR. Para wakil tersebut berpandangan bahwa sistem proporsional itu lebih menguntungkan dari pada sistem distrik. Sistem proporsional tetap dipilih menjadi sistem pemilihan umum di Indonesia bisa jadi sistem ini yang akan terus di pakai. hal ini tak lepas dari realitas yang pernah terjadi di negara-negara lain bahwa mengubah sistem pemilu itu merupakan sesuatu yang sangat sulit perubahan itu dapat memungkinkan jika terdapat perubahan politik yang radikal. Di Indonesia sendiri sistem Proporsional telah mengalami perubahan-perubahan yakni dari perubahan proporsional tertutup menjadi sistem proporsional semi daftar terbuka dan sistem proporsional daftar terbuka.
Pasca pemerintahan Soeharto 1999, 2004 dan 2009 terdapat perubahan terhadap sistem pemilu di Indonesia yakni terjadinya modifikasi sistem proporsional di indonesia, dari proporsional tertutup menjadi proporsional semi daftar terbuka. Dilihat dari daerah pemilihan terdapat perubahan antara pemilu 1999 dengan masa orde baru. pada orde baru yang menjadi daerah pilihan adalah provinsi, alokasi kursinya murni di dasarkan pada perolehan suara di dalam satu provinsi, sedangkan di tahun 1999 provinsi masih sebagai daerah pilihan namun sudah menjadi pertimbangan kabupaten/kota dan alokasi kursi dari partai peserta pemilu didasarkan pada perolehan suara yang ada di masing-masing provinsi tetapi mulai mempertimbangkan perolehan calon dari masing-masing kabupaten /kota. Pada pemilu 2004 daerah pemilihan tidak lagi provinsi melainkan daerah yang lebih kecil lagi meskipun ada juga daerah pemilihan yang mencangkup satu provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, kepulauan Riau, Yogyakarta, Bali, NTB, semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi Utara dan Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya Barat. masing-masing daerah pilihan mendapat jatah antara 3-12 kursi. Pada pemilu 2009 besaran daerah pemilihan untuk DPR diperkecil antara 3-10. Perbedaan lain berkaitan dengan pilihan terhadap kontestan. pada pemilu 1999 dan orde baru para pemilih cukup memilih tanda gambar kontestan pemilu. pada tahun 2004 para pemilih boleh mencoblos tanda gambar kontestan pemilu dan juga mencoblos calonnya. hal ini dimaksudkan agar pemilih dapat mengenal dan menetukan siapa yang menjadi wakil di DPR dan memberikan kesempatan pada calon yang tidak berda di nomor atas untuk terpilih asalkan memenuhi jumlah bilangan pembagi pemilih (BPP), dikatakan perubahan proporsional ini semi daftar terbuka karena penentuan siapa yang akan mewakili partai didalam perolehan kursi di DPR/D tidak didasarkan para perolehan suara tebanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut, kalupun di luar nomer urut harus memiliki suara yang mencukupi BPP.
Sistem proporsional semi daftar terbuka sendiri pada dasarny merupakan hasil sebuah kompromi. dalam pembahasan RUU mengenai hasil pemilu pada 2002, PDIP, GOLKAR, PPP terang-terangan menolak sistem daftar terbuka, dikarenakan penetuan caleg merupakan hak partai peserta pemilu. memang jika diberlakukannya sistem daftar terbuka akan mengurangi otoritas partai di dalam menyeleksi caleg mana saja yang di pandang lebih pas duduk di DPR/D. tetapi tiga partai itu akhirnya menyetujui perubahan hanya saja perubahannya tidak terbuka secara bebas melainkan setengah terbuka. perubahan-perubahan disain kelembagaan seperti itu pada kenyataannya tidak membawa perubahan yang berarti. ada beberapa penyebab diantaranya yaitu : pada kenyataannya para pemilih tetap lebih suka memilih tanda gambar dari pada menggabungkannya dengan memilih calon yang ada di dalam daftar pemilih karena lebih mudah. selain itu, di lihat dari tingkat keterwakilan masih mengandung masalah. permasalahan ini khususnya berkaitan dengan perbandingan jumlah suara dengan jumlah alokasi kursi di DPR/D kepada partai-partai. di sisi lain juga nilai BPP antara daerah pemilihan yang satu dengan daerah pemilihan yang lain memiliki perbedaan. mengingat sistem. hal ini terkait dua hal yakni pertama terdapat upaya untuk mengakomodasi gagasan adanaya keterwakilan yang berimbang antara Jawa dan luar Jawa, kedua secara kelembagaan terdapat keputusan bahwa satu daerah pemilihan mininal memiliki 3 kursi. implikasinya adalah terdapatnya daerah pemilih bahwa BPP nya berada di bawah rata-rata BPP nasional tetapi ada juga yang berada dia atas BPP nasional.
Memingat sistem pemilu yang sudah di modifikasi dan mengalami sedikit perbaikan itu masih tidak terlepas dari kekurangan, terdapat usul untuk melakukan modifikasi sistem proporsional lanjutan. kalau pada pemilu 2004 sudah dipakai sistem daftar setengah terbuka, untuk pemilu-pemilu selanjutnya usulan digunakannya sistem daftar terbuka. di dalam sistem ini digunakan nomor urut di dalam daftar calon tidak lagi dijadikan ukuran untuk menjadikan calon mana yang mewakili partai di dalam perolehan kursi sekitarnya tidak ada calon yang memenuhi BPP yang di jadikan ukuranya adalah calon yag memperoleh suara terbanyak. Presiden SBY termasuk yang pernah mengusulkan sistem demikian sebagaimana dijelaskan oleh Andi sistem ini baik untuk partai karena semua calon akan berkerja keras untuk partainya. rakyat juga mendapatkan pilihan yang jelas. sebab siapa yang paling banyak mendapat sura akan masuk ke parlemen tanpa memakai nomer urut yang keriterianya tidak sering jelas dan menjadi sumber politik uang. sistem ini juga mendapat dukunagn dari PAN akan tetapi PDIP menolak, sebagimana dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo, dengan menghapuskan nomer urut itu justru membuka peluang money politics dan dianggap mendeligitimasi keberadaan partai, demikian juga Jusuf Kalla (GOLKAR) menurutnya sistem terbuka tanpa nomer urut dapat di lakukan secara teoritis tapi sulit praktiknya. perdebatan smacam itu telah di selesaikan di dadal UU pemilu No 10 tahun 2008. UU ini merupakan aturan dasar untuk pemilu 2009 di dalam UU ini memang disebutkan bahwa pada pemilu 1999 Indonesia menganut sistem daftar terbuka. tetapi kenyataanya Indonesia masih menganut sistem semi daftar terbuka. hal ini tidak terlepas dari aturan bahwa calon yang memperoleh suara terbanyak di dalam suatu partai tidak otomatis terpilih menjadi wakil. tapi yang membedakan dengan pemilu 2004 adalah bahwa di dalam pemilu 2009 yang memperoleh suara min 30% dari BPP memiliki kesempatan mewakili partai di dalam perolehan porsi meskipun tidak berada di nomer urut jadi. di samping itu pemilu 2009 juga memperkuat tuntutan pemberian kepada perempuan semua partai wajib menyertakan calon perempuan sebanyak 30%, atau 1 dari setiap 3 calon harus perempuan. tetapi aturan wajib ini tidak disertai sanksi yang jelas dan tegas manakala ada partai-partai yang melanggarnya.
Keputusan sebagaimana yang terdapat di dalam UU no 10 tahun 2008 mengalami perubahan setelah hampir setahun, kemudian MK mengabulkan tentang suara terbanyak sebagai patokan untuk mengalokasikan kursi kepada partai-partai yang memperoleh kursi. keputusan ini menjadikan sistem pemilu di Indonesia benar-benar masuk kedalam kategori sistem proporsional daftar terbuka. Calon yang memperoleh suara terbanyak yang akan lolos menjadi anggota DPR/D dari partai yang memperoleh alokasi kursi. Akibat dari perubahan-perubahan itu, pemilu 2009 dan bisa jadi pemilu-pemilu selanjutnya memiliki konsekuensi-konsekuensi tersendiri. pertama, kompetisi partai semakin kuat seiring di berlakukannya parliementary thresholdparliementary threshold adalah dimungkinkannya sistem multipartai sederhana di dalam pemerintahan di tingkat pusat, multipartai di dalam pemerintahan di daerah dandi pemilu. hasil pemilu 2009 menunjukan 9 partai yang mendapat kursi di DPR karena lolos parliementary threshold dan tidak sedikit juga partai-partai yang tidak memiliki kursi di DPR tetapi mendapat kursi di DPRD. Hal ini dikarenakan ketentuan PT hanya berlaku untuk DPR bukan untuk DPRD. Realitas ini memperkuat pandangan bahwa aturan main di dalam sistem pemilu itu mewakili implikasi yang cukup besar pada alokasi kursi atau perwakilan dan kekuatan-kekuatan politik yang ada. dan pengecilan besaran Daftar pilih untuk pemilu anggota DPR. Kedua, kompitisi internal partai semakin tinggi. Kompitisi akhir ini mencangkup kompitisi antarcalon di dalam setiap Dapil dan antar calon laki-laki dan perempuan. Kompetisi ini menjadi sangat tinggi setelah pengalokasian kursi menggunakan mekanisme (suara terbanyak). Kompetisi antar partai dan antar calon di internal partai itu lebih mengemuka lagi karena kurun waktu kampanye berlangsung lebih lama, setelah ditetapkannya partai peserta pemilu partai dan calon bisa langsung melaksanakan kampanye dialogis, dan sebagai konsekuensi di berlakukannya





BAB III
PERMASALAHAN

Sejumlah laporan dugaan kecurangan Pilkada Jakarta ramai diunggah di media sosial terutama oleh pendukung Ahok-Djarot dan Anies-Sandi. Tapi seberapa menentukan pelanggaran-pelanggaran tersebut terhadap hasil akhir?
Sebuah video live di Facebook yang diunggah Alvin Herlia, misalnya, menunjukan adanya masalah di sebuah TPS di Kelapa Gading.
"Kemarin banyak warga yang datang tanpa formulir C6 tapi membawa E-KTP namun tidak dapat mencoblos," katanya pada BBC Indonesia. Ketika itu, menurut Alvin, surat suara masih banyak tetapi tidak dibolehkan karena surat pernyataan yang tersedia di TPS hanya sedikit.
Menurut aturan, warga yang tidak terdaftar dalam DPT masih bisa memilih dengan membawa E-KTP ke TPS pada pukul 12.00-13.00 siang. Para pemilih ini kemudian diminta menandatangani surat pernyataan (yang disediakan di TPS) yang menyatakan hanya satu kali menggunakan hak pilih.
"Sekitar 100 orang tidak bisa memlih," kata Alvin. "Warga marah kemarin, karena surat suara sebenarnya masih banyak. Dulu-dulu belum pernah seperti ini, baik pilpres maupun pileg."
Sementara itu, unggahan-unggahan lain di media sosial, yang belum bisa diverifikasi, menunjukan adanya dugaan pelanggaran yang diklaim merugikan baik tim Anies-Sandi maupun Ahok-Djarot. Misalnya terkait habisnya surat suara hingga pemalsuan formulir C6.

'Kecurangan-kecurangan' itu dipandang oleh Satu suara sangat berharga bagi tim pemenangan Ahok-Djarot dan tim Anies-Sandi yang dengan cepat mengklaim unggul dalam exit poll kemarin, membuat jagoan mereka gagal menang satu putaran.
Tapi seberapa banyak sebenarnya suara yang hilang?
Tim Anies-Sandi mengatakan potensi hilangnya suara mereka bisa mencapai ribuan. "Laporan dari beberapa, ada yang sampai 200, 300, ada beberapa puluh. Kalaudirekap dari 13.000-an TPS jumlahnya bisa ribuan," kata Yupen Hadi, Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Keamanan Tim Pemenangan Anies-Sandi.
Dia yakin "kalau saja kantong-kantong (dukungan Anies-Sandi) 'tidak jebol,' mestinya kita menang satu putaran."
Sekretaris DPW Partai Nasdem DKI Wibi Andrino dari kubu Ahok-Djarot tidak bisa menyebut jumlah pasti laporan, tetapi jumlah laporan terbanyak mereka terima dari daerah Jakarta Selatan, seperti Tebet, Senayan, dan Pasar Minggu.
"Orang yang tidak bisa mencoblos karena merasa dihalang-halangi, (misalnya) karena kertas suara habis. Kemudian ketentuan awal untuk membawa KTP saja jika tidak terdaftar di DPT, ternyata sampai sana, disuruh bawa KK, ketika sudah bawa KK, disuruh mengantri sampai jam satu, akhirnya tidak diteruskan."
"Saksi kita juga dihalang-halangi, diminta buka baju kotak-kotak, sementara yang saksi pakai baju hitam dan pakai baju putih tidak apa-apa."



BAB IV
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN DEMOKRASI DAN LANDASAN HUKUM PILKADA
Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat, untuk rakyat. Pemerintahan yang kewenangannya pada rakyat. Semua anggota masyarakat (yang memenuhi syarat) diikutsertakan dalam kehidupan kenegaraan dalam aktivitas pemilu. Pelaksanaan dari demokrasi ini telah dilakukan dari dahulu di berbagai daerah di Indonesia hingga Indonesia merdeka sampai sekarang ini. Demokrasi di negara Indonesia bersumberkan dari Pancasila dan UUD ’45 sehingga sering disebut dengan demokrasi pancasila. Demokrasi Pancasila berartikan musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan berpangkal tolak pada faham kekeluargaan dan kegotongroyongan. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

a.      Menurut Internasional Commision of Jurits
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi ditangan rakyat dan di jalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih dibawah sistem pemilihan yang bebas. Jadi, yang di utamakan dalam pemerintahan demokrasi adalah rakyat.

b.      Menurut Lincoln
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the people).

c.       Menurut C.F Strong
Suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa pemerintahan akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan kepada mayoritas itu.
Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) merupakan rekruitmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah, baik Gubernur/Wakil Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/ Wakil Walikota.
            Indonesia pertama kali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir tahun 1955 yang diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu yang secara langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Dan mulai bulan Juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat.
Beberapa kelebihan dalam penyelenggaraan pilkada langsung antara lain sebagai berikut :
1.      Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2.      Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3.      Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat .Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4.      Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5.      Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.
Kepala Daerah adalah jabatan politik atau jabatan publik yang bertugas memimpin birokrasi menggerakkan jalannya roda pemerintahan. Fungsi-fungsi pemerintahan terbagi menjadi perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan. Kepala Daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan atas ketiga fungsi pemerintahan tersebut. Dalam konteks struktur kekuasaan, Kepala Daerah adalah kepala eksekutif di daerah.
Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) diatur dalam perundang-undangan sebagai berikut:
  • Pasal 56 Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah: Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil
  • Pasal 1 angka 4 Undang Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu: Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  • Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota: Pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis melalui lembaga perwakilan rakyat
  • Undang-Undang No. 1 Tahun 2015: Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis.
  • Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2015: Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang bertanggung jawab kepada DPRD. Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada DPRD. Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers dan tokoh masyarakat.

B.     Syarat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah 

Untuk menjadi Kepala Daerah, seorang bakal calon Kepala Daerah harus memiliki syarat-syarat tertentu agar dapat menjadi seorang calon Gubernur, calon Bupati, dan calon Walikota. Syarat utama adalah seorang warga Negara Indonesia dan persyaratan lain sebagai berikut (Pasal 13 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014):
  1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
  3. Berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat. 
  4. Telah mengikuti uji publik.
  5. Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon bupati dan calon walikota.
  6. Mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter.
  7. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 5 (lima) tahun. 
  8. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  9. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela.
  10. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi.
  11. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara. 
  12. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  13. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan memiliki laporan pajak pribadi. 
  14. Belum pernah menjabat sebagai gubernur, bupati, dan/atau walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
  15. Berhenti dari jabatannya bagi gubernur, bupati, dan walikota yang mencalonkan diri di daerah lain.
  16. Tidak berstatus sebagai penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat walikota. 
  17. Tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
  18. Memberitahukan pencalonannya sebagai gubernur, bupati, dan walikota kepada Pimpinan DPR, DPD, atau DPRD bagi anggota DPR, DPD, atau DPRD.
  19. Mengundurkan diri sebagai anggota TNI/Polri dan PNS sejak mendaftarkan diri sebagai calon.
  20. Berhenti dari jabatan pada Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah; dan
  21. Tidak berstatus sebagai anggota Panlih gubernur, bupati, dan walikota.
C.     TATACARA DAN MEKANISME PILKADA
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-­Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Nomer 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nemer 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian.
            Tahapan Pilkada secara langsung dibagi menjadi 2 (dua) tahap yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.
1.      Tahap Persiapan, meliputi :
1)      Pemberitahuan DPRD kepada KDH dan KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah.
2)      Dengan adanya pemberitahuan dimaksud KDH berkewajiban untuk menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah dan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD.
3)      KPUD dengan pemberitahuan dimaksud menetapkan rencana penyelenggaraan Pemilihan KDH dan WKDH yang meliputi penetapan tatacara dan jadwal tahapan PILKADA, membentuk Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara pemungutan Suara (KPPS) serta pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.
4)      DPRD membentuk Panitia pengawas Pemilihan yang unsurnya terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, perguruan Tinggi, Pers dan  Tokoh masyarakat.

Dalam tahap persiapan tugas DPRD semenjak memberitahukan berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah, DPRD paling lambat 20 hari setelah pemberitahuan tersebut, sudah membentuk Panitia pengawas (panwas) sampai dengan tingkat terendah. Misal untuk pemilihan Gubernur Panwas Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota dan Panwas Kecamatan. Hal ini agar Panwas dapat mengawasi proses penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS) sampai dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT), begitu juga proses pencalonan, kampanye sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara.
           
Kepada KPUD, dalam penetapan jadwal pelaksanaan Pilkada khususnya terhadap hari pemungutan suara, diminta kepada KPUD untuk memperhitungkan waktu penetapan hari pemungutan suara jangan terlalu cepat, karena Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih baru dapat dilantik sesuai dengan tanggal berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah yang lama. Walaupun dalam ketentuan tidak diatur batasan waktu paling cepat untuk hari pemungutan suara.

2.      Tahap Pelaksanaan.
Tahap pelaksanaan meliputi penetapan daftar pemilih, pengumuman pendaftaran dan penetapan pasangan calon, kampanye, masa tenang, pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan pasangan calon terpilih serta pengusulan pasangan calon terpilih.
1)      Penetapan Daftar Pemilih
Untuk menggunakan hak memilih, WNRI harus terdaftar sebagai pemilih dengan persyaratan tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya dan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Meski telah terdaftar dalam daftar pemilih tetapi pada saat pelaksanaannya ternyata tidak lagi memenuhi syarat, maka yang bersangkutan tidak dapat menggunakan hak pilihnya.

Penetapan daftar pemilih. dalam Pilkada menggunakan daftar pemilih Pemilu terakhir di daerah yang telah dimutakhirkan dan divalidasi ditambah dengan data pemilih tambahan digunakan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih sementara.
Daftar pemilih sementara disusun dan ditetapkan oleh PPS dan harus diumumkan oleh PPS ditempat yang mudah dijangkau oleh masyarakat untuk mendapatkan tanggapan dari masyarakat. Setiap pemilih yang telah terdaftar dan ditetapkan sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih yang digunakan setiap pemungutan suara. Dalam penyusunan daftar pemilih sementara diminta kepada KPUD untuk melibatkan RT dan RW untuk mendapat tanggapan masyarakat.

2)      Pengumuman Pendaftaran dan Penetapan Pasangan Calon
Peserta pemilihan adalah pasangan calon yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15 % jumlah kursi di DPRD atau 15 % dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh sekurang-kurangnya 15 % jumlah kursi DPRD apabila hasil bagi jumlah kursi menghasilkan angka pecahan maka perolehan 15 % dari jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke atas, sebagai contoh jumlah kursi DPRD 45 dikali 15 % sama dengan 6,75 kursi sehingga untuk memenuhi persyaratan 15 % adalah 7 kursi.

Selanjutnya di dalam melakukan penelitian persyaratan pasangan calon diminta kepada KPUD untuk selalu independen dan memberlakukan semua pasangan calon secara adil dan setara serta berkoordinasi dengan instansi teknis seperti Diknas apabila ijazah cajon diragukan. Begitu juga apabila terjadi pencalonan ganda oleh Partai Politik agar dikonsultasikan dengan pengurus tingkat lebih atas Partai Politik yang bersangkutan.

Dalam melakukan penelitian persyaratan pasangan calon agar dilakukan secara terbuka, apa kekurangan persyaratan dari pasangan calon dan memperhatikan waktu agar kekurangan persyaratan tersebut dapat dilengkapi oleh pasangan calon. Bila ada persyaratan yang belum lengkap agar diberitahukan secepatnya untuk menghindari prates dan ketidak puasan Partai Politik atau pasangan calon yang bersangkutan. Di dalam menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, KPUD provinsi menetapkan KPUD kabupaten/Kota sebagai bagian pelaksana tahapan penyelenggaraan pemilihan, sehingga diperlukan langkah-langkah koordinasi yang optimal.


3.      Kampanye
Kampanye dilaksanakan antara lain melalui pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran melalui media cetak/elektronik, pemasangan alat peraga dan debat publik yang dilaksanakan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum pemungutan suara yang disebut masa tenang.
Terkait dengan kampanye melalui media cetak/elektronik, Undang-undang menegaskan agar media cetak/elektronik memberi kesempatan yang sama pada setiap pasangan calon untuk menyampaikan  tema dan materi kampanye. Selain daripada itu pemerintah daerah juga diwajibkan memberi kesempatan yang sama pada setiap pasangan calon untuk menggunakan fasilitas umum.
 Pengaturan lainnya tentang kampanye adalah :
1)      Pasangan calon wajib menyampaikan visi misi dan rogram secara lisan maupun kepada masyarakat.
2)      Penyampaian materi kampanye dilakukan dengan   carasopan, tertib dan bersifat edukatif.
3)      Larangan kampanye antara lain menghasut atau mengadu domba partai politik atau kelompok masyarakat dan menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah serta melakukan pawai arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki atau dengan kendaraan di jalan raya.
4)      Dalam kampanye pasangan calon atau tim kampanye dilarang melibatkan PNS, TNI/Polri sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam pemilihan.
5)      Pejabat negara yang menjadi calon kepala daerah dan wakil Kepala daerah dalam melaksanakan kampanye tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya dan harus menjalankan cuti.

4.      Pengaturan Suara dan Penghitungan Suara
Pemungutan suara adalah merupakan puncak dari pesta demokrasi diselenggarakan paling lambat 30 hari sebelum masa jabatan Kepala Daerah berakhir, dan dilakukan dengan memberikan suara melalui katok suara yang berisi namor dan foto pasangan calon di TPS yang telah ditentukan. Di hari ini hati nurani rakyat akan bicara, sekaligus menentukan siapakah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diinginkan untuk memimpin daerahnya dan yang akan menentukan perjalanan daerah selanjutnya.

Pemungutan suara ditingkat TPS dilaksanakan mulai dari jam 07.00 sampai dengan jam 13.00 waktu setempat dan pelaksanaan penghitungan suara di TPS dimulai dari jam 13.00 sampai dengan selesai yang dapat dihadiri oleh saksi pasangan calon Panwas, pemantau dan warga masyarakat. Proses rekapitulasi perhitungan suara dilakukan berjenjang mulai dari TPS, PPS, PPK sampai ke KPU Kabupaten/Kota. Apabila Pemilihan Gubernur sampai dengan KPU Provinsi. Berita acara, rekapitulasi hasil perhitungan suara disampaikan kepada pelaksana Pilkada bersangkutan, pelaksana Pilkada satu tingkat di atasnya, dan juga untuk para saksi yang hadir.

Jadi, jika proses rekapitulasi dilakukan ditingkat PPS berita acara dan rekapitulasi itu disampaikan kepada PPS, PPK, dan para saksi pasangan calon yang hadir. Berdasarkan berita acara dan rekapitulasi suara yang disampaikan PPK, KPU Kabupaten/Kota kemudian menetapkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan pengumuman hasil pemilihan Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota. Apabila Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur berita acara dan rekapitulasi penghitungan suara dari KPU Kabupaten/Kota disampaikan kepada KPU Provinsi dan kemudian KPU Provinsi menetapkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan pengumuman hasil pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur.

Pemungutan suara dilakukan pada hari libur atau hari yang diliburkan. Penetapan hari yang diliburkan oleh Menteri Dalam Negeri untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota oleh Gubernur atas usul KPUD masing-masing.

5.      Penetapan pasangan Calon
Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% jumlah suara sah langsung ditetapkan sebagai pasangan terpilih. Apabila perolehan suara itu tidak terpenuhi, pasangan calon yang memperoleh suara terbesar lebih dari25% dari suara sah dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

Dalam hal pasangan calon tidak ada yang memperoleh 25% dari jumlah suara sah maka dilakukan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah putaran kedua. Sesuai dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/1808/SJ tanggal 21 Juli 2005, pelaksanaan Pilkada putaran kedua rentang waktu pelaksanaannya dilaksanakan selambat-lambatnya 60 hari terhitung mulai tanggal berakhirnya masa waktu pengajuan keberatan hasil penghitungan suara, apabila terdapat pengajuan keberatan terhadap hasil penghitungan suara selambat-lambatnya 60 hari dihitung mulai tanggal adanya keputusan Mahkamah Agung/Pengadilan Tinggi tentang sengketa hasil pemungutan suara.
           
Keberatan terhadap hasil penghitungan suara merupakan kewenangan MA dan dapat mendelegasikan wewenang pemeriksaan permohonan keberatan hasil penghitungan suara yang diajukan oleh pasangan calon Bupati/Walikota kepada Pengadilan Tinggi di wilayah hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.

Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi memutus permohonan keberatan pada tingkat pertama dan terakhir, dan putusannya bersifat final dan mengikat selama 14 (em pat belas) hari. Keberatan terhadap hasil pemilihan hanya dapat diajukan berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon dan diajukan paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil akhir pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

6.      Pengesahan dan Pelantikan
DPRD Provinsi mengusulkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpiih dari KPUD Provinsi dan dilengkapi berkas pemilihan untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.

Sedangkan pengusulan pasangan calon Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota selambat-lambatnya dalam waktu 3 hari DPRD Kabupaten/Kota mengusulkan pasangan calon melalui Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpiih dari KPUD Kabupaten/Kota dan dilengkapi berkas pemilihan untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.

Kepala Daerah danWakii Kepala Daerah sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat yang melantik Gubernur bagi Bupati/Wakii Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, Menteri Dalam Negeri bagi Gubernur dan Wakil Gubernur. Pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilaksanakan di gedung DPRD dalam rapat paripurna DPRD yang bersifat istimewa atau ditempat lain yang dipandang layak untuk itu.

D.    MANFAAT PEMILIHAN KEPALA DAERAH DIPILIH SECARA LANGSUNG.
Salah satu ciri negara demokrasi adalah adanya pemilihan umum yang dilaksanakan secara periodik, termasuk pemilihan pejabat publik pada tingkat lokal (kepala daerah). Jadi dengan kata lain sebagus apa pun sebuah pemerintahan dirancang, ia tak bisa dianggap demokratis kecuali para pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara bebas oleh warga negara dengan cara yang terbuka dan jujur.

Ada berbagai pendapat yang megnutarakan tentang keuntungan atau manfaat dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung, salah satunya yaitu pendapat Warsito, Dekan FISIP UNDIP Semarang, yaitu ada enam keuntungan pilkada langsung yaitu diantaranya sebagai berikut :
1.      Pemilihan langsung oleh rakyat anggota DPR, DPRD, presiden, kepala daerah dan kepala desa, menunjukkan adanya konsistensi penyelenggaraan pemerintahan dalam mekanisme pemilihan pejabat pubik.
2.      Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan proses politik untuk menuju pada kehidupan politik yang lebih demokratis dan bertanggung jawab. Para pejabat publik yang dipilih oleh rakyat akan mempertanggungjawabkan kepada rakyat, karena rakyat yang memiliki kedaulatan. Harapannya adalah setiap keputusan politik yang diambil oleh pejabat publik semata-mata untuk kepentingan rakyat. Pemilihan yang bebas dan adil adalah hal yang penting dalam menjamin "kesepakatan mereka yang diperintah " sebagai fondasi politik demokratis. Mereka dengan serta merta menjadi instrumen baik untuk penyerahan kekuasaan dan legitimasi, karena pemilu yang tidak jujur bisa menimbulkan keraguan-keraguan pada kemenangan seseorang yang menduduki jabatan di pemerintahan, keraguan tersebut akan mengurangi kecakapannya dalam memerintah (Grier Stephenson, 2001 hal : 21).
3.      Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan proses politik yang dapat memberikan pendidikan politik kepada rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka stabilitas nasional. Dengan pemilihan secara langsung, rakyat lama kelamaan akan memahami tujuan untuk apa pemilihan diselenggarakan dengan demikian mereka akan semakin kritis dalam mempertaruhkan hak-haknya.
4.      Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat akan mendorong pendewasaan partai politik, terutama dalam perekrutan kader partai politik yang akan ditempatkan sebagai calon kepala daerah. Calon yang ditetapkan oleh partai politik adalah mereka yang telah diseleksi oleh partai dan diperkirakan memenangkan persaingan untuk merebut suara rakyat. Jadi pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan seleksi kepemimpinan lokal yang ideal untuk mendapatkan sepasang gubernur, bupati dan walikota yang lebih berkualitas dan bertanggung jawab. Seorang pejabat publik yang memperoleh dukungan luas dan kuat dari rakyat akan menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan negara dalam rangka tercapainya tujuan negara pada tingkat lokal. Mereka akan merasa terikat dengan suara rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Pemilihan kepala daerah secara langsung dan periodik akan mengalami dinamika dalam kehidupan politik rakyat. Rakyat akan semakin rasional dalam menentukan pilihan sehingga tidak ada partai atau faksi dalam sebuah partai yang mempunyai jaminan untuk selamanya berkuasa atau mampu menempatkan kadernya sebagai kepala daerah.
5.      Pemilihan kepala daerah secara langsung akan memperkuat dan mengembangkan konsep check and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan . Pemilihan kepala daerah secara langsung, maka kepala daerah akan bertanggung jawab kepada rakyat bukan kepada DPRD. Dengan demikian kedudukan kepala daerah kuat sebagai pejabat pelaksana kebijakan politik, oleh karena itu apabila posisi kepala daerah hasil pilihan rakyat didukung oleh DPRD yang aspiratif dan mampu menjalankan fungsinya dengan baik maka konsep check and balances akan dapat terlaksana dengan baik.
6.      Masyarakat paham terhadap kedaulatan. Dalam UU No 22 Th. 1999, disebutkan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Hal ini dapat dipahami bahwa kedaulatan rakyat diserahkan kepada lembaga perwakilan yaitu DPRD . Penyerahan kedaulatan seperti itu rasanya tidak dapat karena kedaulatan merupakan hak yang tidak dapat didelegasikan atau diserahkan kepada lembaga manapun. Kedaulatan melekat pada rakyat yang sewaktu-waktu dapat dikontrol dan kemungkinan ditarik apabila dalam pelaksanaan kebijakan kepala daerah menyimpang dari yang diharapkan , oleh karena itu seharusnya tidak diserahkan kepada sebuah lembaga.


E.     Pelaksanaan dan Penyelewengan Pilkada

Pilkada ini ditujukan untuk memilih Kepala daerah di 226 wilayah yang tersebar dalam 11 provinsi dan 215 di kabupaten dan kota. Rakyat memilih kepala daerah masing masing secara langsung dan sesuai hati nurani masing-masing. Dengan begini diharapkan kepala daerah yang terpilih merupakan pilihan rakyat daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah masing masing.Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat yaitu mengatur pelaksanaan pilkada agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan pilkada.

Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian ijazah palsu oleh bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali. Seandainya calon tersebut dapat lolos bagaimana nantinya daerah tersebut karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar. Dan juga biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak ikhlas ingin memimpin maka tindakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kembali atau “balik modal”. Ini sangat berbahaya sekali.
Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan mengerahkan massanya untuk mendatangi KPUD setempat. Kasus kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di pulau sumatra. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut.
Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari KPUD setempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti melakukan korupsi dana Pemilu tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata dikorupsi. Tindakan ini sangat memprihatinkan. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dengan mudah mereka memanfaatkan jabatannya untuk kesenangan dirinya sendiri. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon juga kejadian seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta.
Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
  1. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada.Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang.
Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.
  1. Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh yaitu pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng dari aturan pelaksanaan pemilu.
  1. Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas aturan-aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyampaikan visi misinya dalam acara tersebut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
  1. Kampanye negative
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat masih kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang di sekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah pada munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.
F.      Solusi
Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi kita dapat meminimalkan kendala-kendala itu. Untuk itulah diperlukan peran dan serta masyarakat karena ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah saja. Untuk menaggulangi permasalah yang timbul dalam pilkada bisa ditempuh dengan cara sebagai berikut :
  1. Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat menjadi suri tauladan bagi masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik.
  2. Semua warga saling menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika muncul perbedaan pendapat satu sama lain namun hal ini diharapkan tidak menimbulkan konflik. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar.
  3. Meningkatkan sosialisasi kepada warga. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat. Sehingga menghindari kemungkinan fitnah terhadap calon yang lain.
  4. Memilih dengan hati nurani. Dalam memilih calon kita harus memilih dengan hati nurani sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip prinsip dari pemilu dapat terlaksana dengan baik.



KESIMPULAN
Kesimpulan:
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) sebagai instrumen dalam penguatan desentralisasi dan otonomi daerah ternyata masih menyimpan berbagai masalah dan menjadi dilema dalam penerapan dan pelaksanannya di Indonesia. Salah satu hal pokok yang menjadi dilema adalah adanya persaingan yang tidak kompetitif diantara peserta pemilihan umum kepala daerah. Aroma primordialisme masih banyak ditemui di daerah-daerah penyelenggara pemilihan umum kepala daerah. Selain itu banyaknya pesoalan lain seperti terjadinya banyak kecurangan, dalam pihak peserta biasanya penuh dengan politik uang (money politics). Dapat kita lihat pula, maraknya politik uang seperti dalam “serangan fajar” yang dilakukan oleh beberapa peserta pemilihan umum kepala daerah. Hal itu berakibat pada rentannya potensi konflik yang terjadi pasca-penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah. Disisi lain juga terjadi fenomena dimana masyarakat justru memilih calon yang didasarkan pada popularitasnya semata. Itulah berbagai dilema yang masih menggelayuti wajah proses pemilihan umum kepala daerah di Indonesia sebagai elemen dari penguatan desentralisasi dan otonomi daerah, yang seharusnya dapat diminimalisir guna meraih optimalisasi pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Saran
Melihat problema di atas maka perlu suatu solusi. Sebagai solusi untuk permasalahan di atas  diantaranya adalah:
·         Saran pertama, ditujukan kepada pemerintah untuk segera merealisasikan pemilihan kepala daerah serentak untuk mengurangi biaya pemilihan kepala daerah.
  • Saran kedua, ditujukan kepada lembaga swadya masyarakat untuk mencerdaskan masyarakat mengenai arti penting pemilihan kepala daerah dalam menentukan kehidupan mendatang. Oleh karena itu jangan mudah diiming-imingkan oleh kenikmatan sesaat.
  • Saran ketiga, ditujukan kepada pemuka masyarakat, agar memberikan penerangan bahwa tidak perlu terjadi konflik dalam  masyarakat tentang pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Bila kepala daerah yang dijagokan kalah perlu berbesar hati, dan untuk kepala daerah  yang terpilih untuk merangkul semua elemen dalam masyarakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar