Gender
dan Kebudayaan/Tradisi
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara
sederhana dapat dinyatakan bahwa gender adalah perbedaan fungsi dan peran
laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial, dan bukan sekadar jenis
kelaminnya. Dengan sendirinya gender dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai
kontruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi peran laki-laki dan
perempuan. Kerancuan dalam mempersepsi perbedaan seks dalam kontek sosial
budaya dan status, serta peran yang melakat pada relai laki-laki perempuan pada
akhirnya menumbuhsuburkan banyak asumsi yang memposisikan perempuan sebagai
sub- ordinat laki-laki. Ketimpangan relasi laki-laki-perempuan ini muncul dalam
anggapan, laki-laki memiliki sifat misalnya assertif, aktif, rasional, lebih
kuat, dinamis, agresif, pencari nafkah utama, bergerak di sektor publik, kurang
tekun. Sementara itu di lain sisi, perempuan diposisikan tidak assertif, pasif,
emosional, lemah, statis, tidak agresif, penerima nafkah, bergerak di sektor
domestik, tekun, dll.
Berkembangnya
fenomena-fenomena tersebut lebih menyadarkan kita bahwa gender ternyata ada
dalam konsep sosial masyarakat. Terdapat beberapa kecenderungan di masyarakat
dan keluarga yang menyebabkan terjadinya ketimpangan gender diantaranya adalah
pemposisian peran anak laki-laki dan anak perempuan yang berbeda, baik dalam
status, peran yang melekat ataupun hak-hak yang sebanarnya merupakan hak
universal. Selain itu, dalam keluarga secara tidak sengaja juga dilakukan
sosialisasi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan membantu
memasak, anak laki-laki membantu ayah mengerjakan pekerjaan ayah, tentunya juga
mengerjakan pekerjaan yang identik laki-laki. Proses pewarisan nilai ini sering
disebut Tradisi dan pada akhirnya akan menjadikan anak terus memegang ajaran
apa yang harus dilakukan oleh anak laki-laki dan apa yang tidak boleh
dilakukannya, demikian juga untuk anak perempuan ada seperangkat aturan yang
tidak boleh dilanggarnya karena budaya melarangnya.
Memang dalam
banyak budaya tradisional, perempuan ditempatkan pada posisi yang dilirik
setelah kelompok laki-laki. Fungsi dan peran yang diemban perempuan dalam
mayarakat tersebut secara tidak sadar biasanya dikonstruksikan oleh budaya
setempat sebagai warga negara kelas dua. Pada posisi inilah terjadi bias gender
dalam masyarakat. Meski disadari bahwa ada perbedaan-perbedaan kodrati makhluk
perempuan dan laki-laki secara jenis kelamin dan konstruksi tubuh, namun dalam
konteks budaya peran yang diembannya haruslah memiliki kesetaraan. Hingga saat
ini masih ditengarai terjadi ketidaksejajaran peran antara laki-laki dan
perempuan, yang sebenarnya lebih didasarkan pada kelaziman budaya setempat.
Terkait dalam kehidupan keseharian, konstruksi budaya memiliki kontribusi yang
kuat dalam memposisikan peran laki-laki terhadap perempuan.
Begitupun
dengan budaya atau tradisi Merariq pada Masyarakat suku Sasak. Seperti yang
kita ketahui Masyarakat Sasak merupakan masyarakat patriarkat dimana kedudukan
perempuan dan laki-laki tidaklah sejajar. Superioritas laki-laki di atas
perempuan terlembagakan secara adat. Nilai-nilai yang dikaitkan dengan
maskulinitas atau yang dianggap ideal untuk laki-laki dianggap lebih tinggi
daripada nilai-nilai femininitas. Berani mengambil resiko, agresif dan kompetitif
merupakan diantara stereotip yang dilekatkan pada maskulinitas masyarakat
Sasak. Namun, dengan berbagai anggapan tersebut mengakibatkan kedudukan kaum
perempuan menjadi terisolir di dalam tradisi Merariq masyarakat Sasak. Hal
inilah yang menjadi dasar kami untuk membahas lebih lanjut
ketimpangan-ketimpangan gender yang ditimbulkan dari tradisi Merariq Masyarakat
Suku Sasak tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah bentuk ketimpangan gender
dalam tradisi merariq?
2. Kenapa Ketimpangan gerder bisa terjadi
dalam tradisi merariq?
3. Bagaimanakah akibat ketimpangan gender dalam tradisi merariq?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bentuk ketimpangan
gender dalam tradisi merariq
2. Untuk mengetahui penyebab ketimpangan
gender dalam tradisi merariq.
3. Untuk mengetahui akibat ketimpangan gender dalam tradisi merariq.
D. Manfaat
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari makalah ini adalah :
a. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap solusi ketimpangan gender yang
terjadi pada tradisi Merariq masyarakat Suku Sasak.
b.
Sebagai bahan refrensi bagi pembaca yang ingin
mengetahui ketimpangan gender dalam tradisi Merariq
2. Manfaat Praktis
Manfaat Praktis dari makalah ini yaitu :
a. Diharapkan dapat memberikan pengetahuan
dan pemahaman kepada masyarakat tentang ketimpangan gender dalam tradisi merariq
Suku Sasak
BAB II
PEMBAHASAN
A. Contoh Kasus
Kasus yang biasa terjadi di kalangan
masyarakat sasak adalah terkait stratifikasi sosial masyarakat yang berawal
dari perkawinan di mana pada umumnya banyak ditentukan oleh susunan keluarga
yang disebut nurut mame. Artinya garis keturunan darah ditekankan pada
laki-laki (garis bapak). Sehingga ketika ada perkawinan antara perempuan
bangsawan sasak dengan laki-laki dari kalangan jajar karang (rakyat biasa) maka
secara otomatis kebangsawanan yang tersemat pada si perempuan sasak tersebut
akan hilang dan pada tarap yang paling extreme adalah perempuan tersebut akan
di buang dari keluarga “teketeh”. Berbeda dengan laki-laki bangsawan dia berhak
untuk memilih dengan kalangan mana dia ingin menikah baik dari kalangan
perwangsa (dende), triwangsa (baiq), ataupun jajar karang (kalangan biasa).
Tidak hanya itu berdasarkan pelapisan
sosial yang berlaku di suku Sasak membuat status perempuan perwangsa dan
triwangse memiliki kedudukan yang tinggi dan mahal harganya oleh karena gelar
kebangsawanan yang disandangnya sehingga menghalangi orang luar atau laki-laki
biasa yang ingin mengawininya karena biaya ajikrama yang harus dibayar
jumlahnya sangat mahal bahkan terkadang diluar kesanggupan orang untuk
membayarnya maka dari itu beban lebih banyak dipikul atau di emban oleh
perempuan sasak. Di sisi lain bagi perempuan sasak kalangan bangsawan yang
tetap mengikuti aturan bahwa perempuan bangsawan harus menikah dengan laki-laki
bangsawan juga, dan apabila ada dari kalangan laki-laki biasa yang ingin
mengawininya maka harus berani membayar ajikrama yang sangat mahal tersebut.
Aturan tersebut tidak sedikit membuat para perempuan bangsawan tidak menikah
sehingga mereka menjadi “mosot/dedare toaq” (perawan tua).
B. Diskusi Kasus
Ketimpangan gender jelas tercermin dalam banyak aspek kehidupan nyata
perempuan Sasak. Dapat dilihat dari masih banyaknya perempuan sasak yang sangat
marginal (inferior), sementara kaum laki-lakinya sangat superior.
Marginalisasi perempuan dan superioritas laki-laki memang merupakan persoalan
lama dan termasuk bagian dari peninggalan sejarah masa lalu. Sejak lahir
perempuan Sasak mulai disubordinatkan sebagai orang yang disiapkan menjadi
isteri calon suaminya kelak dengan anggapan “ja’ne lalo/ja’ne tebait si’
semamenne” (suatu saat akan meninggalkan orang tua diambil dan dimiliki
suaminya). Sementara, kelahiran seorang anak laki-laki pertama biasanya lebih
disukai dan dikenal dengan istilah “anak prangge” (anak pewaris tahta orang
tuanya).
Begitu juga tradisi perkawinan Sasak, seakan-akan memposisikan
perempuan sebagai “Barang Dagangan”. Hal ini terlihat dari awal proses
perkawinan, yaitu dengan dilarikannya seorang perempuan yang dilanjutkan dengan
adanya tawar menawar uang pisuke (jaminan).
Dalam budaya merarik, seorang lelaki akan
dianggap lebih berwibawa apabila berani mengambil resiko dengan melakukan
penculikan terhadap perempuan yang ingin dinikahinya. Melakukan penculikan akan
menimbulkan perasaan heroik tersendiri bagi para pelakunya. Hal ini karena ia
berani dan berhasil malakukan tindakan yang penuh resiko, yakni apabila
tindakannya diketahui oleh orang tua si perempuan ataupun bila pilihannya
mendapat resistensi dari orang tuanya sendiri. Oleh karena itu, berani
melakukan kawin lari merupakan simbol maskulinitas yang diharapkan ada pada
setiap lelaki Sasak.
Satu hal yang tak bisa dihindarkan dari
praktek kawin lari adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai, dan
mampu menjinakkan kondisi sosio-psikologis calon istri. Terlepas apakah dilakukan
atas dasar suka sama suka dan telah direncanakan sebelumnya maupun belum
direncanakan sebelumnya, kawin lari tetap memberikan legitimasi yang kuat atas
superioritas lelaki. Pada sisi lain menggambarkan sikap inferioritas, yakni
ketidakberdayaan kaum perempuan atas segala tindakan yang dialaminya.
Kesemarakan kawin lari memperoleh kontribusi yang besar dari sikap-sikap yang
muncul dari kaum perempuan berupa rasa pasrah atau, bahkan menikmati suasana
inferioritas tersebut.
Selain itu dalam tradisi merarik terdapat
unsur komersial yang tak terbantahkan dalam proses tawar menawar pisuka. Proses
nego berkaitan dengan besaran pisuka yang biasanya dilakukan dalam acara mbait
wali sangat kental dengan nuansa bisnis. Apapun alasannya,
pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomilah yang paling kuat dan dominan
sepanjang acara mbait wali. Ada indikasi kuat bahwa seseorang merasa telah
membesarkan anak gadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk semua usaha tersebut
telah menghabiskan dana yang tidak sedikit. Sebagai akibatnya muncul sikap dari
orang tua yang ingin agar biaya membesarkan anak gadisnya tersebut memperoleh
ganti dari calon menantunya. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat
sosial anak dan orang tua, semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis.
Sebaliknya, semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan anak serta
orang tua, semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.
Namun, berbeda
jika perkawinan dilakukan oleh kaum Bangsawan Sasak. Akan semakin jelas
superioritas kaum laki-laki dalam adat perkawinan para Bangsawan tersebut. Bangsawan
Sasak merupakan salah satu komunitas penduduk asli pulau Lombok. Pulau Lombok
adalah sebuah pulau di kepulauan sunda kecil atau Nusa Tenggara yang
terpisahkan oleh selat Lombok dari Bali di sebelah Barat dan selat Alas di
sebelah Timur Sumbawa. Lombok yang terkenal sebagai tempat wisata yang indah,
dihuni oleh suku Sasak deangan budaya perkawinan yang cukup unik.
Munculnya perbedaan terhadap status atau
kedudukan seseorang pada kalangan bangsawan Sasak tentu tidak dapat begitu saja
dianggap sebagai sesuatu yang negatif sebelum ditelusuri asal muasalnya. Paling
tidak, pasti ada filosofi yang mendasari keberadaannya
sehingga dapat tetap hidup dan berkembang dalam budaya dan adat istiadat
masyarakat Sasak. Dalam hubungan ini, berdasarkan hasil kajian peneliti, nampak
bahwa mnculnya hal tersebut ternyata tidak terlepas apek sejarah perkembangan
masyarakat Sasak.
Dilihat dari segi sejarahnya, masyarakat Sasak
pada awalnya berasal dari satu golongan yang sama yaitu sebagai masyarakat
biasa, yang membentuk sebuah komunitas. Dari komunitas tersebut, ada salah satu
dari mereka yang berprestasi dalam bidang sosial. Sehingga penghargaan atas
prestasi sosial tersebut dilakukan dengan pemberian gelar bangsawan yang akan
menjadi pembeda dari masyarakat lainnya. Dengan tujuan agar lebih dihormati
oleh orang lain.
Penduduk Lombok mayoritas beragama Islam,
mulai dari sebelah Timur atau Lombok Timur sampai sebelah barat yaitu Lombok
barat dan kota Mataram. Masyarakatnya terkenal relegius dengan simbol seribu masjidnya. Meskiipun
demikian dalam konteks tradisi atau adat istiadat perkawinan bangsawan Sasak,
nampaknya ada perbedaan cara pandang
dengan pola perkawinan masyarakat Sasak pada umumnya. Perkawinan pada
sebagian bangsawan Sasak di masih menerapkan pola perkawinan yang diskriminatif, khususnya jika terjadi
perkawinan antara kaum bangsawan dengan kalangan masyarakat biasa.
Kondisi ini telah menempatkan kaum perempuan bangsawan Sasak dalam
posisi yang tidak menguntungkan, sehingga melahirkan berbagai bentuk
ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi antara
lain dalam bentuk marginalisasi dan subordinasi. Bias gender dalam stratifikasi
perempuan bangsawan Sasak ini menyebabkan mereka memiliki akses yang terbatas
dalam menentukan jodohnya, sehingga banyak perempuan bangsawan yang terlambat
kawin, bahkan tidak kawin sama sekali karena aturan dan pranata adat yang ketat
dan rigit. Namun apabila ia nekat kawin dengan laki-laki dengan strata yang
lebih rendah, maka ia akan menerima konsekuensi sanksi adat “dibuang” yang
menempatkannya pada posisi marjinal dan subordinatif (Zuhdi: 2010).
Aturan-aturan tersebut yang masih kuat
dikalangan bangsawan sasak konservatif yang mereka anggap sebagai tradisi dan
kearifan lokal yang harus tetap di jaga dan di lestarikan, membuat perempuan
sasak menjadi termarginalkan, tersubordinasi, memiliki beban ganda, serta
mendapatkan pelabelan yang di mana hal-hal tersebut membatasi ruang gerak perempuan
Sasak untuk mengakses diri keranah publik.
Menurut penuturan Muslihun Muslim, dosen IAIN Mataram, terdapat 9
bentuk superioritas suami sebagai dampak dari tradisi perkawinan adat Sasak (merari’)
sebagai berikut:
1. Terjadinya perilaku atau sikap yang otoriter oleh suami dalam
menentukan keputusan keluarga;
2. Berbaginya pekerjaan domestik hanya bagi isteri dan dianggap tabu
jika lelaki (suami) Sasak mengerjakan tugas-tugas domestik;
3. perempuan karier juga tetap diharuskan dapat mengerjakan tugas
domestik di samping tugas atau pekerjaannya di luar rumah dalam memenuhi
ekonomi keluarga (double faurden/peran ganda);
4. Terjadinya praktek kawin-cerai yang sangat akut dan dalam kuantitas
yang cukup besar di Lombok;
5. Terjadinya peluang berpoligami yang lebih besar bagi laki-laki
(suami) Sasak dibandingkan lelaki (suami) dari etnis lain;
6. Kalau terjadi perkawinan lelaki jajar karang dengan perempuan
bangsawan, anaknya tidak boleh menggunakan gelar kebangsawanan (mengikuti garis
ayah), tetapi jika terjadi sebaliknya, anak berhak menyandang gelar
kebangsawanan ayahnya;
7. Nilai perkawinan menjadi ternodai jika dikaitkan dengan pelunasan
uang pisuke;
8. Kalau terjadi perceraian, maka isterilah yang biasanya menyingkir
dari rumah tanpa menikmati nafkah selama ‘iddah, kecuali dalam perkawinan nyerah
hukum atau nyerah mayung sebungkul;
9. Jarang dikenal ada pembagian harta bersama, harta biasanya
diidentikkan sebagai harta ayah (suami) jika ada harta warisan, sehingga betapa
banyak perempuan (mantan isteri) di Sasak yang hidup dari belaian nafkah
anaknya karena dianggap sudah tidak memiliki kekayaan lagi.
Jadi, dari berbagai penjelasan di atas ketimpangan gender yang
terjadi dalam tradisi perkawinan masyarakat Bangsawan Sasak mencerminkan teori Nurture.
Di mana dalam teori ini lebih menekankan pada perbedaan laki-laki dan perempuan
melalui konstruksi sosial budaya. Oleh sebab itu akan menghasilakn peran
dan tugas yang berbeda yang menyebabkan kaum perempuan selalu tertinggal dan
terabaikan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.
Berdasarkan diskusi kasus di atas, sudah nampak jika perempuan
bangsawan sasak medapat perlakuan berbeda karena tindakan superioritas kaum
laki-laki. Belum lagi dengan perlakuan dalam aturan adat perkawinan yang ketat
dan rigit, yang tidak membolehkan perempuan bangsawan kawin dengan non
bangsawan Sasak yang menyebabkan mereka memiliki akses yang terbatas dalam
menentukan jodohnya, sehingga banyak perempuan bangsawan yang terlambat kawin,
bahkan tidak kawin sama sekali. Namun apabila ia nekat kawin dengan laki-laki
dengan strata yang lebih rendah, maka ia akan menerima konsekuensi sanksi adat
“dibuang” yang menempatkannya pada posisi marjinal dan subordinatif. Akan
tetapi berbeda jika hal serupa dilakukan oleh para Laki-laki Bangsawan sasak,
mereka akan tetap mendapatkan gelas Bangsawannya dan tidak akan mendapat sanksi
“dibuang” dalam keluarga dan masyarakat. Dengan demikian sudah jelas jika
superioritas kaum laki-laki (kaum borjuis) sangat kental dalam kasus di atas,
dan hal ini sudah barang tentu akan semakin menempatkan perempuan dalam kondisi
“tertindas” dan akan tertinggal.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Bentuk Ketimpangan Gender yang terjadi
dalam tradisi merarik Masyarakat sasak salah satunya adalah bila perkawinan antara perempuan bangsawan
sasak dengan laki-laki dari kalangan jajar karang (rakyat biasa) maka secara
otomatis kebangsawanan yang tersemat pada si perempuan sasak tersebut akan
hilang dan pada tarap yang paling extreme adalah perempuan tersebut akan di
buang dari keluarga “teketeh”. Berbeda dengan laki-laki bangsawan dia berhak
untuk memilih dengan kalangan mana dia ingin menikah baik dari kalangan
perwangsa (dende), triwangsa (baiq), ataupun jajar karang (kalangan biasa). Kondisi ini telah menempatkan kaum perempuan bangsawan Sasak dalam
posisi yang tidak menguntungkan, sehingga melahirkan berbagai bentuk
ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi antara
lain dalam bentuk marginalisasi dan subordinasi.
Hal ini terjadi karena Superioritas kaum
laki-laki dan juga Aturan-aturan adat perkawinan bangsawan sasak yang sangat
ketat dan rigit serta masih sangat diyakini oleh kalangan bangsawan sasak
konservatif bahwa hal tersebut adalah sebagai tradisi dan kearifan lokal yang
harus tetap di jaga dan di lestarikan, walaupun membuat perempuan sasak menjadi
termarginalkan, tersubordinasi, memiliki beban ganda, serta keterbatasan ruang
gerak.
Berikut adalah dampak dari tradisi perkawinan
adat Sasak (merari’) sebagai berikut:
1. Terjadinya perilaku atau sikap yang otoriter oleh suami dalam
menentukan keputusan keluarga;
2. Berbaginya pekerjaan domestik hanya bagi isteri dan dianggap tabu
jika lelaki (suami) Sasak mengerjakan tugas-tugas domestik;
3. perempuan karier juga tetap diharuskan dapat mengerjakan tugas
domestik di samping tugas atau pekerjaannya di luar rumah dalam memenuhi
ekonomi keluarga (double faurden/peran ganda);
4. Terjadinya praktek kawin-cerai yang sangat akut dan dalam kuantitas
yang cukup besar di Lombok;
5. Terjadinya peluang berpoligami yang lebih besar bagi laki-laki
(suami) Sasak dibandingkan lelaki (suami) dari etnis lain;
6. Kalau terjadi perkawinan lelaki jajar karang dengan perempuan
bangsawan, anaknya tidak boleh menggunakan gelar kebangsawanan (mengikuti garis
ayah), tetapi jika terjadi sebaliknya, anak berhak menyandang gelar
kebangsawanan ayahnya;
7. Nilai perkawinan menjadi ternodai jika dikaitkan dengan pelunasan
uang pisuke;
8. Kalau terjadi perceraian, maka isterilah yang biasanya menyingkir
dari rumah tanpa menikmati nafkah selama ‘iddah, kecuali dalam perkawinan nyerah
hukum atau nyerah mayung sebungkul;
9. Jarang dikenal ada pembagian harta bersama, harta biasanya
diidentikkan sebagai harta ayah (suami) jika ada harta warisan, sehingga betapa
banyak perempuan (mantan isteri) di Sasak yang hidup dari belaian nafkah
anaknya karena dianggap sudah tidak memiliki kekayaan lagi.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Zuhdi, Muhammad Harfin. 2010. Bias
Gender Stratifikasi Perempuan Bangsawan Sasak Dalam Perkawinan Masyarakat
Lombok Nusa Tenggara Barat, (Penelitian Individual Kompetitif
Kementerian Agama RI)
Aniq,
Ahmad Fathan. 2011. Potensi Konflik pada Tradisi Merarik di Pulau Lombok. Jurnal
Keagamaan dan Kemasyarakatan. Vol. 28, No. 3, Sep-Des, 2011
Anwar, Khaerul.
Merarik, Melaksanakan Adat atau Penyingkiran Hak Perempuan http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/07/swara/1542271.html diakses pada 24 april 2017
Frasiska, dkk..2000. Konstruksi Gender
dalam Budaya.Jurnal UGM Yogyakarta
Fajriyah,
Iklilah Muzayyanah Dini. 2016. Adat Merariq NTB sebagai Upaya Mengakhiri
Pernikahan Anak: Hak dan Kerentanan Anak Perempuan. Jurnal Perempuan. Vol.
21 No. 1 Februari 2016, 33-39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar