Rabu, 07 Juni 2017

KETIMPANGAN GENDER DALAM TRADISI MERARIK SASAK LOMBOK


Gender dan Kebudayaan/Tradisi


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa gender adalah perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Dengan sendirinya gender dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai kontruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi peran laki-laki dan perempuan. Kerancuan dalam mempersepsi perbedaan seks dalam kontek sosial budaya dan status, serta peran yang melakat pada relai laki-laki perempuan pada akhirnya menumbuhsuburkan banyak asumsi yang memposisikan perempuan sebagai sub- ordinat laki-laki. Ketimpangan relasi laki-laki-perempuan ini muncul dalam anggapan, laki-laki memiliki sifat misalnya assertif, aktif, rasional, lebih kuat, dinamis, agresif, pencari nafkah utama, bergerak di sektor publik, kurang tekun. Sementara itu di lain sisi, perempuan diposisikan tidak assertif, pasif, emosional, lemah, statis, tidak agresif, penerima nafkah, bergerak di sektor domestik, tekun, dll.
Berkembangnya fenomena-fenomena tersebut lebih menyadarkan kita bahwa gender ternyata ada dalam konsep sosial masyarakat. Terdapat beberapa kecenderungan di masyarakat dan keluarga yang menyebabkan terjadinya ketimpangan gender diantaranya adalah pemposisian peran anak laki-laki dan anak perempuan yang berbeda, baik dalam status, peran yang melekat ataupun hak-hak yang sebanarnya merupakan hak universal. Selain itu, dalam keluarga secara tidak sengaja juga dilakukan sosialisasi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan membantu memasak, anak laki-laki membantu ayah mengerjakan pekerjaan ayah, tentunya juga mengerjakan pekerjaan yang identik laki-laki. Proses pewarisan nilai ini sering disebut Tradisi dan pada akhirnya akan menjadikan anak terus memegang ajaran apa yang harus dilakukan oleh anak laki-laki dan apa yang tidak boleh dilakukannya, demikian juga untuk anak perempuan ada seperangkat aturan yang tidak boleh dilanggarnya karena budaya melarangnya.
Memang dalam banyak budaya tradisional, perempuan ditempatkan pada posisi yang dilirik setelah kelompok laki-laki. Fungsi dan peran yang diemban perempuan dalam mayarakat tersebut secara tidak sadar biasanya dikonstruksikan oleh budaya setempat sebagai warga negara kelas dua. Pada posisi inilah terjadi bias gender dalam masyarakat. Meski disadari bahwa ada perbedaan-perbedaan kodrati makhluk perempuan dan laki-laki secara jenis kelamin dan konstruksi tubuh, namun dalam konteks budaya peran yang diembannya haruslah memiliki kesetaraan. Hingga saat ini masih ditengarai terjadi ketidaksejajaran peran antara laki-laki dan perempuan, yang sebenarnya lebih didasarkan pada kelaziman budaya setempat. Terkait dalam kehidupan keseharian, konstruksi budaya memiliki kontribusi yang kuat dalam memposisikan peran laki-laki terhadap perempuan.
Begitupun dengan budaya atau tradisi Merariq pada Masyarakat suku Sasak. Seperti yang kita ketahui Masyarakat Sasak merupakan masyarakat patriarkat dimana kedudukan perempuan dan laki-laki tidaklah sejajar. Superioritas laki-laki di atas perempuan terlembagakan secara adat. Nilai-nilai yang dikaitkan dengan maskulinitas atau yang dianggap ideal untuk laki-laki dianggap lebih tinggi daripada nilai-nilai femininitas. Berani mengambil resiko, agresif dan kompetitif merupakan diantara stereotip yang dilekatkan pada maskulinitas masyarakat Sasak. Namun, dengan berbagai anggapan tersebut mengakibatkan kedudukan kaum perempuan menjadi terisolir di dalam tradisi Merariq masyarakat Sasak. Hal inilah yang menjadi dasar kami untuk membahas lebih lanjut ketimpangan-ketimpangan gender yang ditimbulkan dari tradisi Merariq Masyarakat Suku Sasak tersebut.

B.   Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah bentuk ketimpangan gender dalam tradisi merariq?
2.    Kenapa Ketimpangan gerder bisa terjadi dalam tradisi merariq?
3.    Bagaimanakah akibat  ketimpangan gender dalam tradisi merariq?

C.   Tujuan
1.    Untuk mengetahui bentuk ketimpangan gender dalam tradisi merariq
2.    Untuk mengetahui penyebab ketimpangan gender dalam tradisi merariq.
3.    Untuk mengetahui akibat  ketimpangan gender dalam tradisi merariq.
D.   Manfaat
1.    Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari makalah ini adalah :
a.    Memberikan sumbangan pemikiran terhadap solusi ketimpangan gender yang terjadi pada tradisi Merariq masyarakat Suku Sasak.
b.    Sebagai bahan refrensi bagi pembaca yang ingin mengetahui ketimpangan gender dalam tradisi Merariq

2.    Manfaat Praktis
Manfaat Praktis dari makalah ini yaitu :
a.    Diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat tentang ketimpangan gender dalam tradisi merariq Suku Sasak



BAB II
PEMBAHASAN
A.   Contoh Kasus
Kasus yang biasa terjadi di kalangan masyarakat sasak adalah terkait stratifikasi sosial masyarakat yang berawal dari perkawinan di mana pada umumnya banyak ditentukan oleh susunan keluarga yang disebut nurut mame. Artinya garis keturunan darah ditekankan pada laki-laki (garis bapak). Sehingga ketika ada perkawinan antara perempuan bangsawan sasak dengan laki-laki dari kalangan jajar karang (rakyat biasa) maka secara otomatis kebangsawanan yang tersemat pada si perempuan sasak tersebut akan hilang dan pada tarap yang paling extreme adalah perempuan tersebut akan di buang dari keluarga “teketeh”. Berbeda dengan laki-laki bangsawan dia berhak untuk memilih dengan kalangan mana dia ingin menikah baik dari kalangan perwangsa (dende), triwangsa (baiq), ataupun jajar karang (kalangan biasa).
Tidak hanya itu berdasarkan pelapisan sosial yang berlaku di suku Sasak membuat status perempuan perwangsa dan triwangse memiliki kedudukan yang tinggi dan mahal harganya oleh karena gelar kebangsawanan yang disandangnya sehingga menghalangi orang luar atau laki-laki biasa yang ingin mengawininya karena biaya ajikrama yang harus dibayar jumlahnya sangat mahal bahkan terkadang diluar kesanggupan orang untuk membayarnya maka dari itu beban lebih banyak dipikul atau di emban oleh perempuan sasak. Di sisi lain bagi perempuan sasak kalangan bangsawan yang tetap mengikuti aturan bahwa perempuan bangsawan harus menikah dengan laki-laki bangsawan juga, dan apabila ada dari kalangan laki-laki biasa yang ingin mengawininya maka harus berani membayar ajikrama yang sangat mahal tersebut. Aturan tersebut tidak sedikit membuat para perempuan bangsawan tidak menikah sehingga mereka menjadi “mosot/dedare toaq” (perawan tua).



B.   Diskusi Kasus
Ketimpangan gender jelas tercermin dalam banyak aspek kehidupan nyata perempuan Sasak. Dapat dilihat dari masih banyaknya perempuan sasak yang sangat marginal (inferior), sementara kaum laki-lakinya sangat superior. Marginalisasi perempuan dan superioritas laki-laki memang merupakan persoalan lama dan termasuk bagian dari peninggalan sejarah masa lalu. Sejak lahir perempuan Sasak mulai disubordinatkan sebagai orang yang disiapkan menjadi isteri calon suaminya kelak dengan anggapan “ja’ne lalo/ja’ne tebait si’ semamenne” (suatu saat akan meninggalkan orang tua diambil dan dimiliki suaminya). Sementara, kelahiran seorang anak laki-laki pertama biasanya lebih disukai dan dikenal dengan istilah “anak prangge” (anak pewaris tahta orang tuanya).
Begitu juga tradisi perkawinan Sasak, seakan-akan memposisikan perempuan sebagai “Barang Dagangan”. Hal ini terlihat dari awal proses perkawinan, yaitu dengan dilarikannya seorang perempuan yang dilanjutkan dengan adanya tawar menawar uang pisuke (jaminan).
Dalam budaya merarik, seorang lelaki akan dianggap lebih berwibawa apabila berani mengambil resiko dengan melakukan penculikan terhadap perempuan yang ingin dinikahinya. Melakukan penculikan akan menimbulkan perasaan heroik tersendiri bagi para pelakunya. Hal ini karena ia berani dan berhasil malakukan tindakan yang penuh resiko, yakni apabila tindakannya diketahui oleh orang tua si perempuan ataupun bila pilihannya mendapat resistensi dari orang tuanya sendiri. Oleh karena itu, berani melakukan kawin lari merupakan simbol maskulinitas yang diharapkan ada pada setiap lelaki Sasak.
Satu hal yang tak bisa dihindarkan dari praktek kawin lari adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi sosio-psikologis calon istri. Terlepas apakah dilakukan atas dasar suka sama suka dan telah direncanakan sebelumnya maupun belum direncanakan sebelumnya, kawin lari tetap memberikan legitimasi yang kuat atas superioritas lelaki. Pada sisi lain menggambarkan sikap inferioritas, yakni ketidakberdayaan kaum perempuan atas segala tindakan yang dialaminya. Kesemarakan kawin lari memperoleh kontribusi yang besar dari sikap-sikap yang muncul dari kaum perempuan berupa rasa pasrah atau, bahkan menikmati suasana inferioritas tersebut.
Selain itu dalam tradisi merarik terdapat unsur komersial yang tak terbantahkan dalam proses tawar menawar pisuka. Proses nego berkaitan dengan besaran pisuka yang biasanya dilakukan dalam acara mbait wali sangat kental dengan nuansa bisnis. Apapun alasannya, pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomilah yang paling kuat dan dominan sepanjang acara mbait wali. Ada indikasi kuat bahwa seseorang merasa telah membesarkan anak gadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk semua usaha tersebut telah menghabiskan dana yang tidak sedikit. Sebagai akibatnya muncul sikap dari orang tua yang ingin agar biaya membesarkan anak gadisnya tersebut memperoleh ganti dari calon menantunya. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial anak dan orang tua, semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis. Sebaliknya, semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan anak serta orang tua, semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.
Namun, berbeda  jika perkawinan dilakukan oleh kaum Bangsawan Sasak. Akan semakin jelas superioritas kaum laki-laki dalam adat perkawinan para Bangsawan tersebut. Bangsawan Sasak merupakan salah satu komunitas penduduk asli pulau Lombok. Pulau Lombok adalah sebuah pulau di kepulauan sunda kecil atau Nusa Tenggara yang terpisahkan oleh selat Lombok dari Bali di sebelah Barat dan selat Alas di sebelah Timur Sumbawa. Lombok yang terkenal sebagai tempat wisata yang indah, dihuni oleh suku Sasak deangan budaya perkawinan yang cukup unik.
Munculnya perbedaan terhadap status atau kedudukan seseorang pada kalangan bangsawan Sasak tentu tidak dapat begitu saja dianggap sebagai sesuatu yang negatif sebelum ditelusuri asal muasalnya. Paling tidak,  pasti ada  filosofi yang mendasari keberadaannya sehingga dapat tetap hidup dan berkembang dalam budaya dan adat istiadat masyarakat Sasak. Dalam hubungan ini, berdasarkan hasil kajian peneliti, nampak bahwa mnculnya hal tersebut ternyata tidak terlepas apek sejarah perkembangan masyarakat Sasak.
Dilihat dari segi sejarahnya, masyarakat Sasak pada awalnya berasal dari satu golongan yang sama yaitu sebagai masyarakat biasa, yang membentuk sebuah komunitas. Dari komunitas tersebut, ada salah satu dari mereka yang berprestasi dalam bidang sosial. Sehingga penghargaan atas prestasi sosial tersebut dilakukan dengan pemberian gelar bangsawan yang akan menjadi pembeda dari masyarakat lainnya. Dengan tujuan agar lebih dihormati oleh orang lain.
Penduduk Lombok mayoritas beragama Islam, mulai dari sebelah Timur atau Lombok Timur sampai sebelah barat yaitu Lombok barat dan kota Mataram. Masyarakatnya terkenal relegius  dengan simbol seribu masjidnya. Meskiipun demikian dalam konteks tradisi atau adat istiadat perkawinan bangsawan Sasak, nampaknya ada perbedaan cara pandang  dengan pola perkawinan masyarakat Sasak pada umumnya. Perkawinan pada sebagian bangsawan Sasak di masih menerapkan pola perkawinan yang  diskriminatif, khususnya jika terjadi perkawinan antara kaum bangsawan dengan kalangan masyarakat biasa.
Kondisi ini telah menempatkan kaum perempuan bangsawan Sasak dalam posisi yang tidak menguntungkan, sehingga melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi antara lain dalam bentuk marginalisasi dan subordinasi. Bias gender dalam stratifikasi perempuan bangsawan Sasak ini menyebabkan mereka memiliki akses yang terbatas dalam menentukan jodohnya, sehingga banyak perempuan bangsawan yang terlambat kawin, bahkan tidak kawin sama sekali karena aturan dan pranata adat yang ketat dan rigit. Namun apabila ia nekat kawin dengan laki-laki dengan strata yang lebih rendah, maka ia akan menerima konsekuensi sanksi adat “dibuang” yang menempatkannya pada posisi marjinal dan subordinatif (Zuhdi: 2010).
Aturan-aturan tersebut yang masih kuat dikalangan bangsawan sasak konservatif yang mereka anggap sebagai tradisi dan kearifan lokal yang harus tetap di jaga dan di lestarikan, membuat perempuan sasak menjadi termarginalkan, tersubordinasi, memiliki beban ganda, serta mendapatkan pelabelan yang di mana hal-hal tersebut membatasi ruang gerak perempuan Sasak untuk mengakses diri keranah publik.
Menurut penuturan Muslihun Muslim, dosen IAIN Mataram, terdapat 9 bentuk superioritas suami sebagai dampak dari tradisi perkawinan adat Sasak (merari’) sebagai berikut:
1.    Terjadinya perilaku atau sikap yang otoriter oleh suami dalam menentukan keputusan keluarga;
2.    Berbaginya pekerjaan domestik hanya bagi isteri dan dianggap tabu jika lelaki (suami) Sasak mengerjakan tugas-tugas domestik;
3.    perempuan karier juga tetap diharuskan dapat mengerjakan tugas domestik di samping tugas atau pekerjaannya di luar rumah dalam memenuhi ekonomi keluarga (double faurden/peran ganda);
4.    Terjadinya praktek kawin-cerai yang sangat akut dan dalam kuantitas yang cukup besar di Lombok;
5.    Terjadinya peluang berpoligami yang lebih besar bagi laki-laki (suami) Sasak dibandingkan lelaki (suami) dari etnis lain;
6.    Kalau terjadi perkawinan lelaki jajar karang dengan perempuan bangsawan, anaknya tidak boleh menggunakan gelar kebangsawanan (mengikuti garis ayah), tetapi jika terjadi sebaliknya, anak berhak menyandang gelar kebangsawanan ayahnya;
7.    Nilai perkawinan menjadi ternodai jika dikaitkan dengan pelunasan uang pisuke;
8.    Kalau terjadi perceraian, maka isterilah yang biasanya menyingkir dari rumah tanpa menikmati nafkah selama ‘iddah, kecuali dalam perkawinan nyerah hukum atau nyerah mayung sebungkul;
9.    Jarang dikenal ada pembagian harta bersama, harta biasanya diidentikkan sebagai harta ayah (suami) jika ada harta warisan, sehingga betapa banyak perempuan (mantan isteri) di Sasak yang hidup dari belaian nafkah anaknya karena dianggap sudah tidak memiliki kekayaan lagi.

Jadi, dari berbagai penjelasan di atas ketimpangan gender yang terjadi dalam tradisi perkawinan masyarakat Bangsawan Sasak mencerminkan teori Nurture. Di mana dalam teori ini lebih menekankan pada perbedaan laki-laki dan perempuan melalui konstruksi sosial budaya. Oleh sebab itu akan menghasilakn peran dan tugas yang berbeda yang menyebabkan kaum perempuan selalu tertinggal dan terabaikan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.
Berdasarkan diskusi kasus di atas, sudah nampak jika perempuan bangsawan sasak medapat perlakuan berbeda karena tindakan superioritas kaum laki-laki. Belum lagi dengan perlakuan dalam aturan adat perkawinan yang ketat dan rigit, yang tidak membolehkan perempuan bangsawan kawin dengan non bangsawan Sasak yang menyebabkan mereka memiliki akses yang terbatas dalam menentukan jodohnya, sehingga banyak perempuan bangsawan yang terlambat kawin, bahkan tidak kawin sama sekali. Namun apabila ia nekat kawin dengan laki-laki dengan strata yang lebih rendah, maka ia akan menerima konsekuensi sanksi adat “dibuang” yang menempatkannya pada posisi marjinal dan subordinatif. Akan tetapi berbeda jika hal serupa dilakukan oleh para Laki-laki Bangsawan sasak, mereka akan tetap mendapatkan gelas Bangsawannya dan tidak akan mendapat sanksi “dibuang” dalam keluarga dan masyarakat. Dengan demikian sudah jelas jika superioritas kaum laki-laki (kaum borjuis) sangat kental dalam kasus di atas, dan hal ini sudah barang tentu akan semakin menempatkan perempuan dalam kondisi “tertindas” dan akan tertinggal.



BAB III
PENUTUP
A.   Simpulan
Bentuk Ketimpangan Gender yang terjadi dalam tradisi merarik Masyarakat sasak salah satunya adalah  bila perkawinan antara perempuan bangsawan sasak dengan laki-laki dari kalangan jajar karang (rakyat biasa) maka secara otomatis kebangsawanan yang tersemat pada si perempuan sasak tersebut akan hilang dan pada tarap yang paling extreme adalah perempuan tersebut akan di buang dari keluarga “teketeh”. Berbeda dengan laki-laki bangsawan dia berhak untuk memilih dengan kalangan mana dia ingin menikah baik dari kalangan perwangsa (dende), triwangsa (baiq), ataupun jajar karang (kalangan biasa). Kondisi ini telah menempatkan kaum perempuan bangsawan Sasak dalam posisi yang tidak menguntungkan, sehingga melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi antara lain dalam bentuk marginalisasi dan subordinasi.
Hal ini terjadi karena Superioritas kaum laki-laki dan juga Aturan-aturan adat perkawinan bangsawan sasak yang sangat ketat dan rigit serta masih sangat diyakini oleh kalangan bangsawan sasak konservatif bahwa hal tersebut adalah sebagai tradisi dan kearifan lokal yang harus tetap di jaga dan di lestarikan, walaupun membuat perempuan sasak menjadi termarginalkan, tersubordinasi, memiliki beban ganda, serta keterbatasan ruang gerak.
Berikut adalah dampak dari tradisi perkawinan adat Sasak (merari’) sebagai berikut:
1.    Terjadinya perilaku atau sikap yang otoriter oleh suami dalam menentukan keputusan keluarga;
2.    Berbaginya pekerjaan domestik hanya bagi isteri dan dianggap tabu jika lelaki (suami) Sasak mengerjakan tugas-tugas domestik;
3.    perempuan karier juga tetap diharuskan dapat mengerjakan tugas domestik di samping tugas atau pekerjaannya di luar rumah dalam memenuhi ekonomi keluarga (double faurden/peran ganda);
4.    Terjadinya praktek kawin-cerai yang sangat akut dan dalam kuantitas yang cukup besar di Lombok;
5.    Terjadinya peluang berpoligami yang lebih besar bagi laki-laki (suami) Sasak dibandingkan lelaki (suami) dari etnis lain;
6.    Kalau terjadi perkawinan lelaki jajar karang dengan perempuan bangsawan, anaknya tidak boleh menggunakan gelar kebangsawanan (mengikuti garis ayah), tetapi jika terjadi sebaliknya, anak berhak menyandang gelar kebangsawanan ayahnya;
7.    Nilai perkawinan menjadi ternodai jika dikaitkan dengan pelunasan uang pisuke;
8.    Kalau terjadi perceraian, maka isterilah yang biasanya menyingkir dari rumah tanpa menikmati nafkah selama ‘iddah, kecuali dalam perkawinan nyerah hukum atau nyerah mayung sebungkul;
9.    Jarang dikenal ada pembagian harta bersama, harta biasanya diidentikkan sebagai harta ayah (suami) jika ada harta warisan, sehingga betapa banyak perempuan (mantan isteri) di Sasak yang hidup dari belaian nafkah anaknya karena dianggap sudah tidak memiliki kekayaan lagi.

B.   Saran


DAFTAR PUSTAKA
Zuhdi, Muhammad Harfin. 2010. Bias Gender Stratifikasi Perempuan Bangsawan Sasak Dalam Perkawinan Masyarakat Lombok Nusa Tenggara Barat, (Penelitian Individual Kompetitif Kementerian Agama RI)
Aniq, Ahmad Fathan. 2011. Potensi Konflik pada Tradisi Merarik di Pulau Lombok. Jurnal Keagamaan dan Kemasyarakatan. Vol. 28, No. 3, Sep-Des, 2011
Anwar, Khaerul. Merarik, Melaksanakan Adat atau Penyingkiran Hak Perempuan http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/07/swara/1542271.html diakses pada 24 april 2017
Frasiska, dkk..2000. Konstruksi Gender dalam Budaya.Jurnal UGM Yogyakarta
Fajriyah, Iklilah Muzayyanah Dini. 2016. Adat Merariq NTB sebagai Upaya Mengakhiri Pernikahan Anak: Hak dan Kerentanan Anak Perempuan. Jurnal Perempuan. Vol. 21 No. 1 Februari 2016, 33-39



Tidak ada komentar:

Posting Komentar