PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA
|
A.
Pengertian Pembuktian
Terkait dengan
pengertian pembuktian (hukum acara pidana) bahwasannya didalam KUHAP tidak
memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat
jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian,
akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari
pembuktian. Pengertian Pembuktian Hukum Acara Pidana menurut Subekti
misalnya, beliau memberi pengertian pembuktian yaitu meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu sengketa”. Sedangkan menurut Martiman Prodjohamidjojo
mengemukakan membuktikan atau pembuktian mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa,
sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Sedangkan
didalam bukunya M.Yahya Harahap, Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang
berisi penggarisan dan pedoman
tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur
alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim
membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Sedangkan pengertian hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana
yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut
dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta
kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.
B.
Prinsip-Prinsip Pembuktian
Didalam suatu pembuktian terdapat beberapa
prinsip-prinsip pembuktian antara lain sebagai berikut:
1.
Hal yang Secara Umum Sudah Diketahui Tidak
Perlu Dibuktikan.
Prinsip ini
terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang secara umum
sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire
feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a.
Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum
bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau
semestinya demikian. Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal
dari perak. Dan yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17
Agustus diadakan peringatan hari kemerdekaan Indonesia.
b.
Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang
selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan
demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran
tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.
2.
Menjadi Saksi Adalah Kewajiban
Kewajiban
seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang
menyebutkan: “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang
pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia
dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Demikian pula dengan ahli.”
3.
Satu Saksi Bukan Saksi (Unus Testis Nullus
Testis)
Prinsip ini
terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan seorang saksi
saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya”.
Menurut KUHAP,
keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini
dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam acara
pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”.
Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk,
atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti
untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat.
4.
Pengakuan Terdakwa Tidak Menghapuskan Kewajiban
Penuntut Umum Membuktikan Kesalahan Terdakwa
Prinsip ini
merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak dikenal
oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4)
KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan
harus disertai dengan alat bukti lain”.
5.
Keterangan Terdakwa Hanya Mengikat Pada Dirinya
Sendiri
Prinsip ini
diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa hanya
dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Ini berarti apa yang diterangkan
terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat
bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri.
Menurut asas
ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai
terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri.
Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing
keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya
sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B,
demikian sebaliknya.
C.
Sistem Atau Teori Pembuktian
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa
melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana.
Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika
seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan
berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar.
Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiel
berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran
formel.Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan, bahwa ada beberapa
sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau
teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu
dan tempat (negara).
Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negara
Eropa continental yang lalin, menganut bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang diajukan dengan keyakinannya
sendiri dan bukan jury seperti Amerika Serikat dan negara-negara Anglil Saxon.
Di negara-negara tersebut belakang jury yang umumnya terdiri dari orang awam
itulah yang menentukan salah atau tidaknya guilty or not guilty seorang
terdakwa. Sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana
(sentencing)
Mencari kebenaran materiel itu tidaklah mudah.
Alat-alat bukti yang tersedia menurut undang-undang sangat relative. Alat-alat
bukti seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relative. Kesaksian diberikan
oleh manusia yang mempunyai sifat pelupa. Bahkan menurut psikologi penyaksian
suatu peristiwa yang baru saja berganti oleh beberapa orang akan berbeda-beda.
Oleh karena itulah dahulu orang berpendapat bahwa alat bukti yang paling tepat
dapat dipercaya ialah pengakuan terdakwa sendiri karena ialah yang mengalami
peristiwa tersebut. Diusahakanlah memperoleh pengakuan terdakwa tersebut dalam
pemeriksaan yang kana menenteramkan hati hakim yang meyakini ditemukannya kebenaran
materiel itu. Dalam alasan mencari kebenaran materiel itulah maka asas akusator yamg memandang terdakwa
sebagai pihak sama dengan dalam acara perdata, ditinggalkan dan diganti dengan
asas inkisitor yang memandang terdakwa sebagai objek pemeriksaan, bahkan
kadang-kala dipakai alat penyiksa untuk memperoleh pengakuan terdakwa
1.
Sistem atau Teori Pembuktian Brdasarkan
Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie)
Dalam minilai
kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem atau teori
pembuktian. Pembuktian tang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang
disebut undang-undang disebut sistem atau
teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif, karena hanya didasarkan
kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu undang-undang,
maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga
teori pembuktian formel.
Menurut
D.Simons sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif ini
berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengkat
hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di
Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana.
Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lago. Teori ini terlalu
banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut undang-undang. Teori
pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di
Indonesia, karena bagaimana mungkin hakim dapat menetapkan kebenaran selain
dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula
keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mugkin sekali adalah
sesuai dengan keyakinan masyarakat.
2.
Sistem atau Teori Pembuktikan Berdasarkan
Keyakinan Hakim Melulu
Berhadap-hadapan
secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif,
ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu. Teori ini disebut juga
conviction intime. Disadari bahwa alat buktu berupa pengakuan terdakwa
sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran, pemgakuanpun kadang-kadang tidak
menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh
karena itu diperlukan bagaimanapun juga keyakinan hakim sendiri. Bertolak
pangkal pada pemikiran itulah maka teori berdasar keyakiana hakim melulu yang
didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa
telah melakukan perbutan yang didakwakan. Dengan sistem ini pemindanaan
dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-lat ukti dalam undang-undang. Sistem
ini dianut oleh peradilan jury di Perancis.
Menurut Wirjono
Prodjodikoro, sistem pembiktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada
pengadilandiskrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini dikatakan memungkingkan
hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan
medium. Sistem ini member kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit
diawasi. Disamping itu terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan
pembelaan. Dalam hal ini dapat memidanakan terdakwa berdasarkan keyakinannya
bahwa is telah melakukan apa yang didakwakan. Praktek peradilan juri di Prancis
membuat pertimbanagn berdasarkanmetode ini dan mengakibatkan banyaknya
putusan-putusan bebas yang sangat aneh. Pelaksanaan pembuktian seperti pemeriksaan
dan pengambilan sumpah saksi, pembacaan berkas perkara terdapat pada semua
perundang-undangan acara pidana, termasuk sistem keyakinan hakim melulu
(conviction intime).
3.
Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan
Keyakinan hakim Atas Alasan yang Logis (Laconviction Raisonnee)
Sebagai jalan
tengah nuncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasar keyakinan
hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan
seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan mana didasar kepada
dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan
kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, pemutusan hakim
dijatuhkan debgab suatu motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga
pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya.
Sistem atau
teori pembuktian jalan tengah atau berdasar keyakinan hakim sampai batas
tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang pertama yang tersebut di atas yaitu
pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis dan yang kedua ialah
teori pembuktian berdasar undang-undang secara negative.
Persamaan
antara keduanya ialah keduanya sama verdasar atas keyakinan hakim, artinya
terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah.
Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak padakeyakinan
hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpukan
(conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi
ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya
sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan.
Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang
ditetapkan secara limitatif. HIR maupun KUHAP, begitu pula Ned. Sv. Yang lama
dan yang baru, semuannya menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan
undang-undang negative. Hal tersebut dapat disimulakan dari pasal 183 KUHAP,
dahulu pasal 194 HIR. Pasal tersebut berbunyi :
“Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperileh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada
undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam pasal 184
KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim diperoleh dari lat-alat bukti tersebut.
Hal tersebut dapat dikatakan sama saja dengan ketentuan yang tersebut pada pasal
294 ayat (1) HIR yang berbunyi:
“Tidak seorang
pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakianan dengan alat
bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbutana yang dapat dipidana dan
bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbutan itu.”
Sebenarnya sebelum diberlakukan KUHAP, ketentuan yang sama telah ditetapkan
dalam Undang-Undang Pokok Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUPKK) pasal 6 yang
berbunyi :
“Tiada seorang
juga pun dapat dijatuhkan pidana kecuali apabila pengadilan karena lat
pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang
yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang
ditiduhkan atas dirinya.”
Kelemahan rumus undang-undang ini ialah disebut alat pembuktian, bukan alay-lat
pembuktian, atau seperti dalam pasal 183 KUHAP disebut dua alat bukti. Di
negeri Belanda, pada wakti konsep Ned. Sv. dibicarakan pertama kali, sebenarnya
yang dicantumkan ialah sistem pembuktian conviction raisonnee. Sesudah melalui
perdebatan yang panjang, antara yang ingin mengadakan perubahan seperti yang
telah tercantum dalam konsep rencana itu, dan pihak lain yang ingin
mempertahankan sistem lama yaitu negatief wettelijk, akhirnya golongan yang
tersebut kedualah yang menang, tetapi dengan suatu komsesi kepada pihak pertama
conviction raisonnee, bahwa pasal-pasal yang mengikat hakim dalam undang-undang
harus dikurangi, sehingga menjadi dua saja, ayitu yang dikenal sekarang degan
pasal 341 ayat (4) dan 342 ayat (2) Ned. Sv.
Pasal 341 ayat (4) itu mengatur bahwa kesalahan terdakwa tidak dapat dianggap
terbukti atas pengakuan salah terdakwa saja, melainkan harus ditambah dengan
alat-alat bukti yang lain, sedangkan pasal 342 ayat (2) mengatakan bahwa
keterangan seorang saksi saja tidaklah cukup untuk menganggap kesalahan
terdakwa telah terbukti. Ini disebut bukti minimum. Ketentuan tersebut mirip
dengan KUHAP pasal 183 KUHAP sejajar dengan pasal 341 ayat (4) Ned. Sv. Pasal
itu mengatakan “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah….”, selanjutnya pasal
185 ayat (2) KUHAP sama dengan pasal 342 ayat (2) Ned. Sv. Tersebut. Pasal itu
mengatakan: “keterangan orang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.”
Dalam sistem atau teori pembuktikan yang berdasar undang-undang secara negatif
ini pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan
undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang dasar
keyakinan hakim itu bersumber pada peraturan undang-undang.
Hal tersebut terakhir ini sesuai dengan pasal 183 KUHAP tersebut yag mengatakan
bahwa dari dua alat bukti sah itu diperoleh keyakinan hakim. Dalam pasal 338
Ned. Svv. Ditegaskan sejelas mungkin bahwa keyakinan itu sendiri hanya dapat
didasarkan kepada isi alat-alat bukti yang sah (yang disebut oleh
undang-undang). Demikianlah sehingga de Bosch Kemper mengatakan bahwa keyakinan
itu, yang disyaratkan untuk memidana, tiadalah lain dari pada pengakuan kepada
kekuatan pembuktian yang sah (yang disebut oleh undang-undang). Penjelasan
pasal 183 KUHAP mengatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya
kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang. Ini sama bevar yabg
tertulis oleh D.Simons bahwa berdasarkan undang-undang pengakuan terhadap teori
pembuktian hanya berlaku untuk keuntungan terdakwa, tidak dimaksudkan untuk
menjurus kepada pidananya orang yang tidak bersalah hanya dapat kadang-kadang
memaksa dibebaskannya orang bersalah.
Untuk
Indonesia, yang sekarang ternyata telah dipertahankan oleh KUHAP, Wirjono
Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang
negative sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah
layaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat
menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang
sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika
ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada
patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan
peradilan.
D.
Alat-Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian
Didalam KUHAP telah diatur tentang alat-alat
bukti yang sah yang dapat diajukan didepan sidang peradilan. Pembuktian
alat-alat bukti diluar KUHAP dianggap tidak mempunyai nilai dan tidak mempunyai
kekuatan yang mengikat. Adapun alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang
telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut:
1.
Keterangan Saksi
Keterangan saksi
adalah alat bukti yang pertama disebut dalam pasal 184 KUHAP. Pada umunya tidak
ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi
menurut M. Yahya Harahap bahwa hampir semua pembuktian perkara pidana selalu
bersandar kepada pemerikasaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya, disamping
pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian
dengan alat bukti keterangan saksi.
Pengertian saksi dapat
kita lihat pada KUHAP yaitu saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan
dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri. Dalam Pasal
185 KUHAP, berbunyi:
a.
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa
yang saksi nyatakan di depan saksi pengadilan
b.
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
c.
Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(2) tidak berlaku apabila tidak disertai dengan suatu alat bukti yang sah
lainnya.
d.
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri
tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti
yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain
sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan
tertentu.
e.
Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh
dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
f.
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang
saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :
1)
Penesuaiaan antara keterangan saksi satu dengan
yang lain;
2)
Persesuaiaan antara keterangan saksi dengan
alat bukti lain;
3)
Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi
untuk memberi keterangan yang tertentu;
4)
Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala
sesuatu tentang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat
tidaknya keterangan itu dipercaya;
g.
Keterangan dari saksi yang tidak disumpah
meskipun sesuai dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila
keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat
bukti sah yang lain.
Pada umumnya semua orang dapat menjadi seorang saksi, namun demikian ada pengecualian khusus yang menjadikan
mereka tidak dapat bersaksi. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 168
KUHAP yang berbunyi:
Kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak
dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
1)
Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus
keatas atau kebawah samapi derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa;
2)
Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunya
hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa samapi derajat
ketiga;
3)
Suami atau istri terdakwa meskipun sudah
bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Selanjutnya dalam pasal 171 KUHAP juga menambahkan pengecualian untuk
memberikan kesaksiaan dibawah sumpah,
yakni berbunyi :
1)
Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun
dan belum pernah kawin;
Dalam sudut
penjelasan pasal tersebut diatas, Andi Hamzah mengatakan bahwa:
“Anak yang
belum berumur lima belas tahun, demikian orang yang sakit ingatan, sakit jiwa,
sakit gila meskipun kadang-kadang saja, dalam ilmu jiwa disebut psycophaat,
mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana
maka mereka itu tidak perlu diambil sumpah atau janji dalam memberikan
keterangan, karena itu, keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja”.
Orang yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya dapat dibebaskan
dari kewajibannya untuk memberi kesaksian, pada pasal 170 KUHAP berbunyi
sebagai berikut:
1)
Mereka yang pekerjaan, harkat dan martabat atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban
untuk memberi keterangan sebagai saksi.
2)
Hakim menentukan sah atau tidaknya segala
alasan untuk permintaan tersebut.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan diatas bahwa keterangan saksi yang dinyatakan dimuka
sidang mengenai apa yang ia lihat, ia rasakan, ia alami adalah keterangan
sebagai alat bukti (pasal 185 ayat (1)), bagaimana terhadap keterangan saksi
yang diperoleh dari pihak ketiga? Misalnya, pihak ketiga menceritakan suatu hal
kepada saksi bahwa telah terjadi pembunuhan. Kesaksian demikian adalah disebut
testimonium de auditu.
Sesuai dengan
penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu tidak diperkenankan
sebagai alat bukti. Selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yang mencari
kebenaran material, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain tidak terjamin
kebenarannya, maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence patut tidak
dipakai di Indonesia pula. Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula
didengar oleh hakim. Walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian,
tetapi dapat memperkuat keyakinan hakim bersumber pada dua alat bukti yang
lain. Andi Hamzah. Dalam hal lain juga dalam KUHAP tentang prinsip minimum
pembuktian. Hal ini terdapat dalam pasal 183 yang berbunyi:
“Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
Dalam pasal 185 ayat (2) juga menyebutkan sebagai berikut: “Keterangan seorang
saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap terhadap
dakwaan yang didakwakan kepadanya”. Menurut D. Simons: “Suatu keterangan saksi
yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu
keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan suatu kejadian
tersendiri”.
M. Yahya Harahap megungkapkan bahwa bertitik tolak dari ketentuan pasal 185
ayat (2), keterangan seorang saksi saja belum dianggap sebagai suatu alat bukti
yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis nullus testis).
Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum yang terdiri dari
seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat
bukti yang lain, kesaksian tunggal seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat
bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya. Namun apabila disuatu pesidangan seorang
terdakwa mangaku kesalahan yang didakwakan kepadanya, dalam hal ini seorang
saksi saja sudah dapat membuktikan kesalahan terdakwa. Karena selain keterangan
seorang saksi tadi, juga telah dicukupi dengan alat bukti keterangan terdakwa.
Akhirnya telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian yakni keterangan saksi
dan keterangan terdakwa.
2.
Keterangan Ahli
Keterangan ahli juga merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut
pasal 184 ayat (1) KUHAP. Mengenai pengertian dari keterangan saksi dilihat
dalam pasal 184 KUHAP yang menerangkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang
seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Pasal tersebut tidak mnjelaskan
siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Andi Hamzah dalam bukunya
menerangkan bahwa yang dimaksud dengan keahlian ialah ilmu pengetahuan yang
telah dipelajari (dimiliki) seseorang. Pengertian ilmu pengetahuan diperluas
pengertianya oleh HIR yang meliputi Kriminalistik, sehingga van Bemmelen
mengatakan bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata, ilmu pengetahuan tentang sidik
jari dan sebagainya termasuk dalam pengertian ilmu pengetahuan.
Pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti menurut M. Yahya Harahap hanya
bisa didapat dengan melakukan pencarian dan menghubungkan dari beberapa
ketentuan yang terpencar dalam pasal KUHAP, mulai dari Pasal 1 angka 28, Pasal
120, Pasal 133, dan Pasal 179 dengan jalan merangkai pasal-pasal tersebut maka
akan memperjelas pengertian ahli sebagai alat bukti :
a.
Pasal 1 angka 28
Pasal ini memberi pengertian apa yang dimaksud dengan keterangan ahli, yaitu
keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang
hal yang diperluakan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan. Dari pengertian yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 28, M. Yahya
Harahap (2002 : 298) membuat pengertian:
1)
Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan
seorang ahli yang memiliki “keahlian khusus” tentang masalah yang diperlukan
penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang diperiksa.
2)
Maksud keterangan Khusus dari ahli, agar
perkara pidana yang sedang diperiksa “menjadi terang” demi untuk penyelesaian
pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
b.
Pasal 120 ayat (1) KUHAP
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau
orang yang memiliki keahlian khusus. Dalam pasal ini kembali ditegaskan yang
dimaksud dengan keterangan ahli ialah orang yang memiliki keahlian khusus yang
akan memberi keterangan menurut pengetahuannya dengan sebaik-baiknya.
c.
Pasal 133 (1) KUHAP
Dalam hal penyidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
d.
Pasal 179 KUHAP menyatakan:
1)
Setiap orang diminta pendapatnya sebagai ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberi keterangan
ahli demi keadilan.
2)
Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi
berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan
bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang
sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya.
e.
Pasal 179 memberi penegasan tentang adanya dua
kelompok ahli yang terdapat pada pasal-pasal sebelumnya (Pasal 1 angka 28,
Pasal 120, Pasal 133 ayat (1). Seperti yang dituliskan M. Yahya Harahap
(2002:300), ada dua kelompok ahli:
1)
Ahli kedokteran kehakiman yang memiliki
keahlian khusus dalam kedokteran kehakiman sehubungan dengan pemeriksaan korban
penganiayaan, keracunan, atau pembunuhan.
2)
Ahli pada umumnya, yakni orang-orang yang
memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu.
Sebenarnya apabila kita hubungkan Pasal 133 dan
Pasal 186 KUHAP, maka dapat dilihat bahwa ternyata keterangan saksi tidak hanya
diberikan di depan persidangan tetapi juga diberikan dalam rangka pemeriksaan
penyidikan. Menurut M. Yahya Harahap bahwa dari ketentuan Pasal 133 dihubungkan
dengan Pasal 186 KUHAP, jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai
alat bukti yang sah dapat melalui prosedur sebagai berikut:
Diminta
penyidik pada taraf pemeriksaan penyidik.
Pada saat penyidik demi untuk kepentingan
peradilan, penyidik minta keterangan ahli. Permintaan itu dilakukan penyidik
secara tertulis dengan menyebutkan secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli
itu dilakukan. Atas permintan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat
“laporan”. Laporan itu bisa berupa surat keterangan yang lazim juga disebut
juga dengan nama visum et repertum. Laporan atau visum et repertum tadi dibuat
oleh ahli yang bersangkutan “mengingat sumpah” diwaktu ahli menerima jabatan
atau pekerjaan. Dengan tata cara dan bentuk laporan ahli yang seperti itu,
keterangan dalam laporan atau visum et repertum sudah mempunyai sifat dan nilai
sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
f.
Keterangan Ahli Yang Diminta Dan Diberikan Di
Sidang
Permintaan keterangan seorang ahli dalam pemeriksaan
di sidang pengadilan diperlukan apabila pada waktu pemeriksaan penyidikan belum
ada diminta keterangan ahli. Akan tetapi bisa juga terjadi, sekalipun penyidik
atau penuntut umum waktu pemeriksaan penyidikan telah meminta keterangan ahli,
jika hakim ketua sidang atau terdakwa maupun penasehat hukum menghendaki dan
menganggap perlu didengar keterangan ahli di sidang pengadilan, meminta kepada
ahli yang mereka tunjuk memberi keterangan di sidang pengadilan. Dalam tata
cara dan bentuk keterangan ahli di sidang pengadilan, tidak dapat melaksanakan
hanya berdasarkan pada sumpah atau janji di sidang pengadilan sebelum ia
memberi keterangan. Dengan dipenuhi tata cara dan bentuk keterangan yang
demikian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli
tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dan sekaligus
keterangan ahli yang seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa ternyata
keterangan ahli dalam bentuk laporan menyentuh sekaligus dua sisi alat bukti
yang sah. Di satu sisi, keterangan ahli yang terbentuk laporan atau visum et
repertum tetap dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli, akan tetapi pada
sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat
bukti saksi. Apakah hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum
memberikan nama pada alat bukti tersebut tidak menimbulkan akibat dalam
penilaian kekuatan pembukti?<!--22
M. Yahya Harahap, menegaskan bahwa keleluasaan
hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum dalam memberikan nama pada
alat bukti seperti yang telah disebutkan diatas, sama sekali tidak menimbulkan
akibat dalam penilaian kekuatan pembuktian. Kedua jenis alat bukti itu, baik
alat bukti keterangan ahli maupun alat bukti surat, sama-sama mempunyai nilai
kekuatan pembuktian yang serupa. Kedua alat bukti tersebut sama-sama mempunyai
kekuatan pembuktian yang bebas, dan tidak mengikat. Hakim bebas untuk
membenarkan atau menolaknya.
3.
Surat
Pengertian surat menurut Asser-Anema (Andi Hamzah, 2002:71)surat-surat adalah
sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk
mengeluarkan isi pikiran. Menurut I. Rubini dan Chaidir Ali (Taufiqul Hulam,
2002:63) bukti surat adalah suatu benda (bisa berupa kertas, kaya, daun lontar
dan sejenisnya) yang memuat tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan
menyatakan isi pikiran (diwujudkan dalam suatu surat). Dalam KUHAP seperti alat
bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti surat hanya diatur dalam
satu pasal yaitu Pasal 187, yang berbunyi surat sebagaimana tersebut pada Pasal
184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah
adalah:
a.
Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi
yang dibuat oleh pejabatat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya, yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau
yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangan itu;
b.
Surat yang dibuat menurut ketentuan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksanan yang menjadi tanggungjawabnya dan diperuntukkan
bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c.
Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang
diminta secara resmi dari padanya;
d.
Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain
4.
Petunjuk
Dalam KUHAP, alat bukti petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188, yang berbunyi
sebagai berikut:
a.
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau
keadaan, yang karena persesuaiaan, baik antara satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi sesuatu tindak
pidana dan siapa pelakunya.
b.
Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat diperoleh dari:
c.
Ketrangan saksi;
d.
Surat;
e.
Keterangan terdakwa.
Penilaian
atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim denga arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nuraninya.
Dari bunyi pasal diatas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan
alat bukti yang tidak langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan tentang
pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti yang
lainnya dan memilih yang ada persesuaiaannya satu sama lain
5.
Keterangan Terdakwa
Mengenai keterangan terdakwa diatur dalam KUHAP pada Pasal 189 yang berbunyi
sebagai berikut:
a.
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdkwa
nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
b.
Keterangan terdakwa yang diberikan diluar
sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan
keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal
yang didakwakan kepadanya.
c.
Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan
terhadap dirinya sendiri.
d.
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Menurut Andi Hamzah, (2002:273) bahwa KUHAP
jelas dan sengaja mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dalam
Pasal 184 butir c. KUHAP juga tidak menjelaskan apa perbedaan antara keterangan
terdakwa sebagai alat bukti dan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti.
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau terbentur
pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa
penyangkalan, pengakuan ataupun pengakuan sebagaian dari perbuatan atau keadaan.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah,
Andi.1996.Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta: CV Sapta Artha Jaya.
Harahap,
M. Yahya.2003.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemerikasaan.
Sasangka,
Hari dan Lily Rosita.2003.Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana.
Bandung: Mandar Maju.
Subekti. 2001.Hukum
Pembuktian.Jakarta: Pradnya Paramita.
Prinst,
Darwan.1998.Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar