PEREMPUAN SEBAGAI PEMIMPIN
- Laki-laki Sudah Ditetapkan Sebagai Pemimpin Wanita
Seperti bunyi ayat di
bawah ini :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita.” (QS. An-Nisaa’: 34)
Ayat ini memang
konteksnya berbicara seputar rumah tangga, akan tetapi secara logikanya,
seorang kepala rumah tangga saja haruslah laki-laki, apalagi seorang kepala
negara yang notabene sebagai kepala atau pemimpin dari banyak kepala keluarga
lain, maka tidak bisa lain, dia haruslah laki-laki.
- “Dan anak laki-laki tidaklah sama dengan anak wanita.” (QS. Ali Imran: 36)
Hadits :
شرح السنة
للبغوي (10/ 76)
عَنْ أَبِي
بَكْرَةَ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ
قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً».
“Diriwayatkan dari Abu Bakrah, katanya: Tatkala
sampai berita kepada Rasulullah bahwa orang-orang Persia mengangkat raja puteri
Kaisar, Beliau bersabda: Tidak akan pernah beruntung keadaan suatu kaum
yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan.” (HR.
Bukhari, Turmudzi dan An-Nasa’i)
Hadits tersebut
menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang
wanita, tidak akan mendapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan
dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama
berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan
tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ini, menurut al-Qâdhi Abû Bakr
ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
Sebenarnya ini
adalah wujud agama Islam dalam melindunggi kaum perempuan. Perempuan lebih ahli
dalam mengatur segala bidang rumah tangga dan lebih teliti dalam mengatur
keuangan. Jika perempuan inggin bekerja haruslah disertai dengan izin suaminya
karena perempuan yang lebih dekat dengan anak-anak. Mungkin ini ketakutan suami
apabila sang istri pekerja juga pasti ada akibat yang ditimbulkan anak-anak
kurang kasih sayang. Alangkah lebih baik jika membuat kesepakatan dengan suami
sehingga jelas pembagian tugas.
dilihat dari segi
politik menurut saya sah-sah saja apabila perempuan jadi pemimpin dengan
pertimbangan jika kondisi yang menuntut. Kondisi diartikan suatu perkumpulan
yang hanya anggotanya perempuan dan jika ada anggotanya laki-laki akan tetapi
laki-laki tersebut kurang mampu.
Imam Ahmad, Imam
Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin,
meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi
pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama.
Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh
jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu
Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta.
Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam
urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah
semestinya diperbolehkan.
Ibn Jarîr
ath-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam permasalahan ini.
Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah secara mutlak
dalam semua hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan semacam ini, identik
dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri merestui dan melegalkan seorang wanita
untuk memberikan fatwa, sebagaimana sabda yang beliau sampaikan;
“Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.
Prinsipnya, menurut
beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi pertikaian atau
persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah
laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja,
kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijma’, yaitu
masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).
Dari penjelasan
diatas dapat disimpulkan, tanpa berniat untuk suatu kepentingan politik atau
mendiskriditkan jenis kelamin, bahwa mayoritas ulama telah melarang perempuan
jadi pemimpin/ulil amri public, baik sebagai bupati, gubernur, bahkan presiden
dan bahkan pula pemimpin dalam Sholat. Yang diperbolehkan dalam hal rumah
tangga atau urusan yang harus ditangani perempuan. Jika hukum perempuan jadi
pemimpin public, ternyata ulama lebih banyak melarangnya, maka begitu juga
memilih pemimpin perempuan juga ulama melarangnya. Jadi jangan jadikan
perempuan menjadi pemimpin apapun itu alasannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar